NILAI-NILAI HUKUM PIDANA ISLAM DENGAN PERADILAN RESTORATIVE JUSTICE
Nilai-Nilai Hukum Pidana Islam dengan
Peradilan Restorative Justice
Oleh : Ela Vinda Anariska (NIM 1702026031)
Hukum Pidana Islam
Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang
Indonesia adalah bangsa
yang terdiri dari masyarakat yang besar dan majemuk. Dari bangsa yang besar
tersebut persoalan yang muncul pun bermacam-macam. Seringkali persoalan yang
timbul kita selesaikan secara musyawarah, sesuai dengan nilai-nilai sila dari
Pancasila yaitu sila ke-4. Restorative Justice menemukan
pikiran dari filososfis dasar dari sila ke empat Pancasila, yaitu musyawarah
yang merupakan prioritas dari suatu pengambilan keputusan. Peradilan restorative
justice memberikan tujuan penyelesaian dengan mediasi korban pelanggar
adalah untuk “memanusiakan” sistem peradilan yang ada, keadilan yang mampu
menjawab apa kebutuhan yang sebenarnya dari korban, pelaku, dan masyarakat.
Dalam budaya kita,
sering kita menjustifikasi para pelaku dengan sebutan penjahat, criminal,
sampah masyarakat, ataupun hujatan lainnya. Memberikan hukuman terhadap pelaku
masih memiliki anggapan di mata masyarakat sebagai solusi dari kejahatan yang
terjadi. Hukuman atau pemidanaan di penjara dianggap sebagai “obat manjur” bagi
penyembuhan derita si korban dan merupakan jalan yang terbaik bagi pelaku
kejahatan. Padahal tidak selamanya dengan pemidanaan akan menyelesaikan masalah
yang timbul. Bahkan terkadang hal tersebut justru akan menambah perkara baru
bagi pelaku maupun si korban.
Menurut John Delaney,
pengintegrasian kembali narapidana ke dalam masyarakat harus dilakukan lewat
tahapan self realisation process, yaitu suatu proses yang
memperhatikan dengan seksama pengalaman, nilai-nilai, pengharapan, dan
cita-cita narapidana, termasuk di dalamnya latar belakang budayanya,
kelembagaannya, dan kondisi masyarakat dari mana ia berasal,(Muhammad Mustofa
& Adrianus Meliala, 2008: LokaKarya Menghukum Tanpa Memenjarakan).
Sedangkan David Rothman mengatakan bahwa rehabilitasi adalah kebohongan yang
diagung-agungkan. Pernyataan Rothman ini muncul setelah ia melihat kenyataan
yang sebenarnya bahwa penjara mengasingkan penjahat dari cara hidup
yang wajar ia tidak siap untuk hidup di jalan yang benar setelah ia dibebaskan
dari penjara.[1]
Ironisnya, hampir
seluruh tindak kejahatan yang ditangani oleh sistem Peradilan Pidana Indonesia
selalu berakhir di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik untuk
menyelesaikan masalah-masalah kejahatan, khususnya tindak kejahatan di mana
“kerusakan” yang ditimbulkan kepada korban dan masyarakat masih bisa di
restorasi sehingga kondisi yang telah “rusak” dapat dikembalikan ke keadaan
seperti semula, sekaligus penghilang dampak buruk penjara. Dalam menyikapi
tindak kejahatan yang dianggap dapat di restorasi kembali, dikenal suatu
paradigma penghukuman yang disebut restorative justice, di mana
pelaku di dorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada
korban, keluarganya, dan juga masyarakat.[2]
Dalam kenyataannya
memang kita dapat menjumpai banyak orang yang saat ia melakukan kejahatan
kemudian ia dimasukkan ke dalam penjara, kemudian bukannya menjadi lebih baik
dari sebelumnya, melainkan malah ia tambah menjadi-jadi. Hal ini disebabkan
karena bobroknya sistem yang ada di Lembaga Pemasyarakatan kita. Penjahat
dimasukkan ke dalamnya pada mulanya ialah dengan tujuan agar saat ia keluar ia
mampu menyadari kejahatan ataupun kesalahan yang ia laukakan karenanya. Namun,
akibat dari kebobrokan sistem lapas kita maka bukannya tujuan itu tercapai
malah justru Lembaga Pemaysrakatan tersebut menjadi “sekolah kejahatan” bagi
mereka. Kenapa demikian? Hal ini dikarenakan saat penjahat satu dikumpulkan
dengan penjahat yang lainnya pada satu tempat yang sama bukan tidak mungkin
mereka saling berbagi informasi mengenai kejahatan dari masing-masing mereka.
Satu dengan yang lain men-share pengalaman demi pengalaman,
sehingga lengkaplah ilmu mereka dari yang satu ke yang lainnya.
Menurut pengetahuan dari
penulis, kenyataan yang ada dilapangan memang seperti demikian. Lembaga
Pemasyarakatan yang kita amanahkan untuk memberikan Pendidikan moral, akhlak,
dan akidah bagi para pelaku, belum dapat menjalankan amanahnya dengan baik.oleh
karena itu, diharapkan dengan adanya pembaharuan hukum melalui sistem
peradilan restorative justice selain mampu membenahi sistem
peradilan hukum yang ada, juga mampu menjadi solusi dari kebutuhan si korban,
pelaku, maupun bagi masyarakat.
Contoh: Misalnya dalam
hukuman kurungan seumur hidup bagi pelaku pembunuhan. Hal tersebut tentu
bersifat menjerakan sekali bagi pelaku itu sendiri. Dan si korban pun merasakan
puas karena melihat sang pelaku mendapatkan hukuman yang berat atas perbuatannya.
Namun, apakah hukum dibuat hanya untuk misi balas dendam? Bagi penulis sendiri
hukum dibuat bukan untuk misi balas dendam. Ada maqasid al syari’ah dalam
pembuatan hukum itu sendiri. Yaitu 5 kebutuhan pokok manusia yang secara
berurutan adalah:
a) memelihara
agama (hifzh al-din/حفظ الدين)
b) memelihara
jiwa (hifzh al-nafs/حفظ النفس)
c) memelihara
akal (hifzh al-‘aql/حفظ العقل)
d) memelihara
keturunan (hifzh al-nasl/حفظ النسل)
e) memelihara
harta (hifzh al-mal/حفظ المال)
Diharapkan setiap keputusan hukum mampu mengandung ke
lima unsur pokok maqashid al syariah di
atas. Maka, jika kita mengambil jalan lain, bukan dengan memenjarakannya
seumur hidup namun ia harus bertanggung jawab seumur hidup kepada keluarga si
korban, karena yang ia bunuh ialah tulang punggung keluarga. Tentu hal ini penulis
kira jauh lebih baik dibandingkan dengan hukuman yang pertama. Karena selain
dari pelaku yang tetap dapat menjalankan kehidupan bebasnya yang tidak ditahan
di balik jeruji, dari si korban dan keluarganya pun ia tetap mendapatkan
tambahan penghasilan untuk keperluan hidup mereka sehari-hari. Tentu di sini
ada nilai kemaslahatan yang sesungguhnya memiliki nilai keutamaan yang lebih
besar. Jika dengan bermusyawarah dapat menuju maqasid itu sendiri, mengapa
tidak kita terapkan sistem peradilan restorative justice di
negeri kita?
Dapat kita lihat,
restorative justice tidak hanya berlaku bagi hukum positif pada umumnya. Tetapi
apabila diterapkan dalam hukum pidana Islam pun restorative justice juga
tidak menyalahi aturan syara’ itu sendiri. Hukuman mati (qisas) atau setimpal
menurut al-Jarjawi ialah hukuman yang khusus dijatuhkan kepada pelaku
pembunuhan sengaja (al-qatl al’amdi). Allah swt menjatuhkan hukuman
berat bagi orang-orang yang mau mencelakai orang lain. Orang-orang yang
membunuh akan dibunuh, dengan tujuan agar tidak ada lagi perbuatan zalim kepada
sesama manusia. Karena pembunuhan dapat menimbulkan kerusakan dan dapat
menghancurkan negara. Allah menetapkan hukuman bagi pembunuh sengaja menjadi
dua macam, yaitu hukumana mati (qisas) atau membayar ganti rugi (diyat).[3]
Dalam hal ini sistem
peradilan restorative justice dapat kita lihat penerapannya. Menurut
ulama fikih apabila hukuman qisas gugur (misalnya dimaafkan atau karena ada
perdamaian), maka ada dua hukuman pengganti lain, yaitu diyat yang ditanggung
sendiri oleh pembunuh dan hukuman ta’zir.[4] Ketentuan
penggantian qisas dengan diyat merupakan alternatif penyelesaian tindak pidana
pembunuhan tanpa menerapkan hukuman fisik. Di sisi lain, aturan pidana Islam
memberi ruang bagi korban untuk terlibat dalam penyelesaian perkara. Pembayaran
diyat kepada keluarga korban adalah bukti bahwa Islam memberikan perlindungan
kepada pihak korban, sehingga terjadi keseimbangan dalam hubungan sosial,
terutama antara pelaku, korban, dan masyarakat. Penyelesaian tindak pidana
dengan melibatkan semua pihak untuk mencari solusinya ini dinamakan dengan
pendekatan restorasi atau restorative justice. Pendekatan restorasi
adalah suatu alternatif penyelesaian masalah pidana dengan penekanan pada
pemulihan masalah/konflik dan pengembalian keseimbangan dalam masyarakat.
Tindak pidana dipandang sebagai suatu konflik yang terjadi dalam hubungan
sosial masyarakat yang harus diselesaikan dan dipulihkan oleh semua pihak
secara bersama sama.
Fokus pendekatan ini
adalah memperbaiki kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh tindak pidana,
sehingga perlu ditunjang dengan konsep restitusi, yaitu upaya pemulihan kembali
kerugian yang diderita oleh korban. Kejahatan, menurut pendekatan restorasi,
bukanlah pelanggaran hukum yang harus diberi sanksi oleh negara, tetapi
perbuatan yang harus dipulihkan melalui ganti rugi atau hal lain yang sifatnya
menjauhi pemenjaraan. Pendekatan restorasi berusaha menyelesaikan kejahatan
dengan membangun kembali hubungan setelah terjadi tindak pidana.[5]
Kesimpulan
Hampir seluruh tindak
kejahatan yang ditangani oleh sistem Peradilan Pidana Indonesia selalu berakhir
di penjara. Padahal penjara bukan solusi terbaik untuk menyelesaikan
masalah-masalah kejahatan. Dalam budaya kita, memeberikan hukuman terhadap
pelaku masih memiliki anggapan di mata masyarakat sebagai solusi dari kejahatan
yang terjadi. Hukuman atau pemidanaan di penjara dianggap sebagai “obat manjur”
bagi penyembuhan derita si korban dan merupakan jalan yang terbaik bagi pelaku
kejahatan. Padahal tidak selamanya dengan pemidanaan akan menyelesaikan masalah
yang timbul. Bahkan terkadang hal tersebut justru akan menambah perkara baru
bagi pelaku maupun si korban. Hal ini disebabkan karena bobroknya sistem yang
ada di Lembaga Pemasyarakatan kita. Penjahat dimasukkan ke dalamnya pada
mulanya ialah dengan tujuan agar saat ia keluar ia mampu menyadari kejahatan
ataupun kesalahan yang ia laukakan karenanya. Namun, akibat dari kebobrokan
sistem lapas kita maka bukannya tujuan itu tercapai malah justru Lembaga
Pemaysrakatan tersebut menjadi “sekolah kejahatan” bagi mereka.
Menurut pengetahuan
penulis, kenyataan yang ada dilapangan memang seperti demikian. Lembaga
Pemasyarakatan yang kita amanahkan untuk memberikan Pendidikan moral, akhlak,
dan akidah bagi para pelaku, belum dapat menjalankan amanahnya dengan baik.
Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya pembaharuan hukum melalui sistem
peradilan restorative justice selain mampu membenahi sistem
peradilan hukum yang ada, juga mampu menjadi solusi dari kebutuhan si korban,
pelaku, maupun bagi masyarakat. Restorative justice merupakan alternatif atau
cara lain dari peradilan criminal dengan mengedepankan
pendekatan integrasi pelaku di satu sisi dan korban/masyarakat di lain sisi
sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan
baik dalam masyarakat. Dalam menyikapi tindak kejahatan yang dianggap dapat di
restorasi kembali, restorative justice mrndorong pelaku untuk
memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkannya kepada korban, keluarganya, dan
juga masyarakat. Tentu di sini ada nilai kemaslahatan yang sesungguhnya
memiliki nilai keutamaan yang lebih besar.
DAFTAR PUSTAKA
Prayitno, Kuat Puji .
2012. Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Prespektif
Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto). Vol. 12 No 3. Purwokerto:
Jurnal Dinamika Hukum Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman.
Rokhmadi.2015. Hukum
Pidana Islam,. Semarang:CV Karya Abaadi Jaya.
Santoso,
Topo.2016. Asas-Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
Sodiqin, Ali.
2015. Restorative Justice dalam Tindak Pidana Pembunuhan: Perspektif
Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam, Vol.
49, No. 1. Yogyakarta: Jurnal Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga.
[1] Kuat Puji
Prayitno, Restorative Justice untuk Peradilan di Indonesia (Prespektif
Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto), Vol. 12 No.3, Purwokerto:
Jurnal Dinamika Hukum Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman, September
2012, hlm. 408.
[2] Ibid,.
[3] Rokhmadi, Hukum
Pidana Islam, (Semarang:CV Karya Abaadi Jaya), 2015, hlm. 134.
[4] Topo Santoso, Asas-Asas Hukum Pidana Islam,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada), 2016, hlm. 169.
[5] Ali Sodiqin, Restorative Justice dalam Tindak
Pidana Pembunuhan: Perspektif Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam, Vol.
49, No. 1, (Yogyakarta: Jurnal Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga,
Juni 2015), hlm. 67-68.
Download Artikel
Posting Komentar untuk "NILAI-NILAI HUKUM PIDANA ISLAM DENGAN PERADILAN RESTORATIVE JUSTICE"