Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Diskusi Internal Divisi Diskusi dan Kajian Tema : “Menelaah RUU KUHP tanpa Transparansi”

    Diskusi Internal Divisi Diskusi dan Kajian

Tema : “Menelaah RUU KUHP tanpa Transparansi”

Rabu, 06 Juli 2022


Sejarah KUHP 

KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana merupakan kitab undang-undang hukum yang berlangsung sbg dasar hukum di Indonesia. KUHP merupakan anggota hukum politik yang berlangsung di Indonesia, dan terbagi dijadikan dua bagian: hukum pidana material dan hukum pidana formil. Semua hal yang berkaitan dengan hukum pidana material merupakan tentang tindak pidana, pelaku tindak pidana dan pidana (sanksi). Sedangkan, hukum pidana formil merupakan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana material. KUHP atau Kitab Undang-undang Hukum Pidana merupakan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai tingkah laku pidana secara material di Indonesia. 

KUHP yang sekarang diberlakukan merupakan KUHP yang berasal dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie. Pengesahannya diterapkan melalui Staatsblad Tahun 1915 nomor 732 dan mulai berlangsung sejak tanggal 1 Januari 1918. Setelah kemerdekaan, KUHP tetap diberlakukan ditemani penyelarasan kondisi berupa pencabutan pasal-pasal yang tidak lagi relevan. 

Hal ini berdasarkan pada Ketetapan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang menyatakan bahwa: "Segala badan negara dan peraturan yang masih berada langsung diberlakukan selama belum diselenggarakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini." Ketetapan tersebutlah yang kesudahan dijadikan dasar hukum pemberlakuan semua peraturan perundang-undangan pada masa kolonial di masa kemerdekaan. Kepada menegaskan kembali pemberlakuan hukum pidana pada masa kolonial tersebut, pada tanggal 26 Februari 1946, pemerintah kesudahan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Undang-undang inilah yang kesudahan dibuat sebagai dasar hukum perubahan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dijadikan Wetboek van Strafrecht (WvS), yang kesudahan dikenal dengan nama Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Meskipun demikian, dalam Pasal XVII UU Nomor 2 Tahun 1946 juga terdapat ketetapan yang menyatakan bahwa: “Undang-undang ini mulai berlangsung buat pulau Jawa dan Madura pada hari diumumkannya dan buat daerah lain pada hari yang akan ditetapkan oleh Presiden.” 

Dengan demikian, pemberlakuan Wetboek van Strafrecht voor Netherlands Indie dijadikan Wetboek van Strafrecht hanya terbatas pada wilayah jawa dan Madura. Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di seluruh wilayah Republik Indonesia baru diterapkan pada tanggal 20 September 1958, dengan diundangkannya UU No. 7 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlangsungnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang  Peraturan Hukum Pidana Kepada Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Sebagaimana yang diceritakan dalam Pasal 1 UU No. 7 Tahun 1958 yang berbunyi: “Undang-Undang No. 1 tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana diceritakan berlangsung kepada seluruh wilayah Republik Indonesia.” 

Jadi, per tanggal 1 Januari 2013, KUHP tersebut sudah berlangsung selama 95 (sembilan puluh lima) tahun. Ini 2022 berarti 104 tahun. Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah diberlakukan secara nasional tidak berarti bahwa upaya kepada menciptakan sistem hukum pidana yang baru terhenti. Upaya melakukan pembaruan hukum pidana terus berlanjut semenjak tahun 1958 dengan berdirinya Lembaga Pembinaan Hukum Nasional sbg upaya kepada membentuk KUHP Nasional yang baru. Seminar Hukum Nasional I yang diselenggarakan pada tahun 1963 telah menghasilkan berbagai resolusi yang diantaranya beradanya sorongan kepada menyelesaikan KUHP Nasional dalam ketika yang sesingkat-singkatnya. Sebenarnya sudah beberapa kali berada usaha perbaikan KUHP dengan pembuatan Rancangan KUHP. Sejarah Rkuhp Sejak puluhan tahun silam, upaya rekodefikasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) nasional sebenarnya sudah digagas. Tepatnya, saat digelarnya Seminar Hukum Nasional I di Semarang pada 1963, salah satunya membahas Rancangan KUHP (RKUHP) selain Rancangan KUHAP KUHPerdata, KUHDagang. 

Seminar ini disebut-sebut menjadi titik awal sejarah pembaruan KUHP di Indonesia yang setahun kemudian mulai dirumuskan oleh tim pemerintah. Sebab, substansi RKUHP yang ada saat ini sebagian masih mengacu hasil seminar tersebut diantaranya menambahkan ataupun perluasan delik-delik (tindak pidana) kejahatan keamanan negara (kejahatan ideologi); delik ekonomi; hukum adat (living law); delik kesusilaan. Beberapa tahun terakhir, diadopsinya delik korupsi; delik penyebaran kebencian terhadap pemerintah; penghinaan kepala negara (presiden); contempt of court; kualifikasi delik penghinaan; dan beberapa delik yang selama ini tersebar di luar KUHP. Namun, lebih dari setengah abad lamanya, RKUHP ini tak kunjung rampung dibahas dan disahkan menjadi KUHP nasional. Bila dihitung periode kepemimpinan presiden, berarti sudah tujuh presiden berganti. Kalau dilihat berapa banyak menteri hukum dan HAM (dulu menteri kehakiman), kira-kira sudah ada 13 kali pergantian menteri. Bahkan, tim penyusun yang pernah terlibat menyusun RKUHP, sekitar 17 orang telah wafat. Hal ini pernah diungkap Guru Besar Universitas Diponegoro Prof Barda Nawawi Arief pada Maret 2016 lalu. Dari 17 anggota tim penyusun yang telah wafat, ada 7 diantaranya guru besar senior bidang hukum, dosen, atau pejabat negara. Seperti, Guru Besar Universitas Diponegoro (alm) Prof Soedarto. Pengganti (alm) Prof Soedarto yang wafat tahun 1986 yakni Guru Besar Universitas Gadjah Mada (alm) Prof Roeslan Saleh yang juga wafat sekira tahun 1998. 

Selain itu, mantan Menteri Kehakiman ke-9 Prof Moeljanto dan (alm) Prof Satochid Kartanegara wafat sekira tahun 1971. Disusul mantan Ketua Mahkamah Agung (alm) Prof Oemar Seno Adji yang wafat sekira tahun 1991. Selanjutnya, sekira tahun 2007, (alm) Prof Andi Zainal Abidin Farid juga wafat. Kini, nama tim perumus yang masih tersisa, selain Barda sendiri, ada Prof Muladi. Selebihnya, anggota tim penyusun RKHUP yang bergabung belakangan, seperti Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia Point-point dalam pengesahan rkuhp -    Target dpr mengesahkan dua RUU Sebelum masa persidangan V tahun 2021-2022 yang berakhir 7 juli 2022 ditutup ( RKUHP dan RUU kemsayarakatan ) Sebelumnya dua RUU ini sudah akan diketuk palu pada tahun 2019 lalu, tapi presiden meminta DPR agar ditunda pengesahannya.karna menuai kontroversi dimasyarakat ( ada 4 RUU kontoversi  RUU KUHP, RUU pemasyarakatan, RUU pertanahan, RUU minerba ) -    Draf terbaru pembahasan RKUHP selepas rapat dengar pendapat ( RDP ) antara kemenkumham dan komisi III DPR Pada 25 mei  2022 lalu tak kunjung dibuka -    Draf yang sekarang beredar adalah sama dengan draf versi 2019 -    DPR beralasan draf RKUHP terbaru masih ditangan pemerintah dalam tahap penyusunan dan penyempurnaan ( Karna ini adalah RUU inisiasi pemerintah Rkuhp Ada beberapam pasal yang dianggap berbahaya dan merugikan pihak-pihak tertentu. Banyak pasal yang terkesan karet dan multitafsir. 

Pada 2019, presiden juga menyebut setidaknya ada 14 pasal bermasalah, diantaranya :     Pasal 217-220 tentang penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden Pasal ini, seandainya pemerintah merespon aspirasi masyarakat maka akan dihapus. Pasal yang mengatur mengenai hukuman terhadap setiap orang yang menyerang harkat dan martabat presiden dan wakil presiden ini dikritik banyak pihak dan dinilai warisan kolonial serta bertentangan dengan Putusan  MK. Pasal ini dikhawatirkan multi-interpretasi , memasung kebebasan pers dan dikhawatirkan mudah memidanakan orang. Dulu pasal ini pernah ada kuhp lama, tertuang pada pasal 134 kuhp “ penghinaan dengan sengaja terhadap presiden dan wakil presiden diancam dengan penjara 6 tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus ribu rupiah “ Perbedaan 134 kuhp dan 218 rkuhp terteltak pada -    134 ; hukuman 6 tahun penjara, delik biasa ( Di cabut di MK tahun 2006 ) -218 ; 3 tahun dan 6 bulan atau denda, delik aduan  ( dibangkitkan kembali 2019 ) 

Pasal 278 dan pasal 279 2. Setiap Orang yang membiarkan unggas yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II (Rp 10 juta)," bunyi Pasal 278 Pemerintah memutuskan mengubah Pasal 278-279 di Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjadi delik materiil. Ini menyusul seiring banyaknya sorotan terhadap pasal yang mengatur unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih. 

Saat ini pemerintah mengusulkan untuk mengubah pasal 278 dan pasal 279 menjadi delik materiil karena masih diperlukan guna melindungi para petani yang berpotensi mengalami kerugian karena benih atau tanamannya dirusak oleh unggas milik orang lain Pasal 279: Ayat 1, "Setiap Orang yang membiarkan Ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih atau penanaman, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II." Ayat 2, "Ternak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dirampas untuk negara."  

Pasal 414 tentang Alat Kontrasepsi "Setiap Orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan kepada Anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I (Rp1 juta)". aturan ini juga kontradiktif dengan upaya penanggulangan HIV. meski misalnya ada yang dikecualikan dari aturan tersebut. Aturan pengecualian itu diatur pada ; Pasal 416 RKUHP menyebutkan, pidana tersebut dikecualikan bagi: petugas yang berwenang, mereka yang melakukannya untuk kepentingan ilmu pengetahuan/pendidikan, dan relawan yang kompeten yang ditugaskan pejabat yang berwenang. "Tidak jarang, dalam kondisi seperti pada pekerja seks, mempertunjukkan alat pencegah kehamilan adalah hal yang mutlak dilakukan. Dalam kondisi LSL (lelaki seks dengan lelaki), memiliki atau membawa kondom adalah hal yang mutlak dilakukan," Pihak-pihak lain yang terancam kena kriminalisasi juga termasuk masyarakat sipil, swasta, LSM,bahkan tokoh masyarakat dan tokoh agama karena mereka tidak termasuk dalam Pasal 416 RKUHP. Dengan demikian, pada akhirnya RKUHP potensial menurunkan tingkat kesehatan masyarakat. "Masyarakat berpotensi untuk dipaksa dan diinterogasi terkait dengan kepemilikan alat pencegah kehamilan. Secara konkret hal ini akan mengancam kesehatan masyarakat dan stigma akan terus berlangsung," tambahnya. Direktur Joint United Nations Programme on HIV and AIDS atau UNAIDS untuk Indonesia, Tina Boonto, menegaskan betapa pentingnya kampanye soal penggunaan alat pencegah kehamilan untuk mencegah penyebaran HIV. 

Menurut data institusinya, per Maret 2019, ada 630 ribu orang Indonesia terinfeksi HIV. 52 persen pengidap baru HIV adalah anak muda berusia 15 sampai 24 tahun. Masalahnya adalah, masyarakat Indonesia tabu membicarakan hal-hal terkait seks, padahal itu tidak lain adalah pendidikan kesehatan. Dan pembatasan dalam RKUHP semakin mempersulit upaya ini. "Pengetahuan bisa membantu masyarakat mengontrol dirinya sendiri untuk tidak terkena HIV. Mereka bisa mengetahui perlunya penggunaan kondom, bukan hanya untuk melindungi dari kehamilan yang tidak diinginkan, tetapi juga dari HIV dan penyakit kelamin," Tanpa aturan tersebut [menjalankan program pencegahan] sudah sangat sulit karena tingkah dan hambatan dari masyarakat. Aturan tersebut justru (RUU KUHP) bisa memperburuk program pencegahan.

Pasal 417 tentang perzinahan Dalam pasal 417 draf RKUHP, setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda kategori II. Kemudian pada Pasal 419, setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II. Kedua tindak pidana tersebut tidak dapat dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, orang tua, atau anak. Pengaduan dapat dilakukan orang tua juga memicu pernikahan dini (saya mendukung). 

Pasal 418 tentang kohabetasi ( kumpul kebo) Pasal 418 tentang hidup bersama atau tinggal bersama: (1) Setiap orang yang hidup sebagai pasangan layaknya suami istri di luar pernikahan atau umumnya di kenal sebagai "kumpul kebo" akan di pidana penahanan selama 6 (enam) bulan atau denda kategori II. (mendukung tapi regulesi kubap dan penafsiran harus jelas).

Tentang Penggelandangan pada Pasal 432. Pasal itu berbunyi, "Setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I. ( 1 jt rupiah) Pasal penggelandangan dianggap tak jelas sehingga membuka celah untuk diinterpretasikan secara luas. 

Pasal Dalam Pasal 240, setiap orang yang menghina pemerintah yang sah dan berakibat terjadinya kerusuhan dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV. Pasal 241 Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap pemerintah yang sah dengan maksud agar isi penghinaan diketahui umum yang berakibat terjadinya kerusuhan dalam masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.” 

Pasal RKUHP tersebut dinilai tidak sesuai jika diterapkan dalam negara demokrasi. Lebih dari itu, masyarakat menilai bahwa salah satu ciri negara demokrasi ialah masaryakat bebas berpendapat untuk mengkritik kinerja pemerintah. Ancaman hukuman 3 tahun penjara yang disebutkan dalam pasal 240 RKUHP tersebut akan dinaikkan menjadi 4 tahun. Penghinaan terhadap pemerintah yang tertuang pada pasal 240 ini, juga mengatur tentang cara penyebarluasan penghinaan. Apabila penghinaan dilakukan dengan dibagikan di media sosial, maka hukuman akan ditambah sebagaimana bunyi pasal 241 RKUHP


Pasal yang Kontroversial di RUU KUHP

  1. Pasal Meringankan Hukuman Koruptor

Berdasarkan draf RKUHP per 28 Agustus 2019, terdapat lima pasal tindak pidana pokok (core crime) yang diadopsi dari Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Namun, dari lima pasal yang diadopsi, tiga pasal di antaranya mengandung ancaman pidana penjara dan denda yang lebih ringan.

  • Pasal 604 RKUHP yang diadopsi dari Pasal 2 UU Tipikor terkait perbuatan memperkaya diri mengandung ancaman penjara minimum yang lebih singkat, yakni dari empat tahun menjadi dua tahun. Sanksi denda minimum juga diperingan, dari Rp 200 juta menjadi Rp 10 juta. 

Dalam Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor saat ini, berbunyi “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Sedangkan Pasal 603 RUU KUHP berbunyi: Setiap Orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI.”

  • Selain itu, dalam RUU KUHP, ancaman pidana mati ke koruptor dihilang. Dalam UU Tipikor saat ini, hukuman mati bisa dijatuhkan ke terdakwa korupsi dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.

  • Ketentuan lain yang diperingan yakni Pasal 605 yang diadopsi dari Pasal 3 UU Tipikor terkait denda untuk pelaku yang menyalahgunakan kewenangan atau jabatan. Ancaman denda minimum untuk pelaku di UU Tipikor yakni Rp 50 juta, sedangkan RKUHP juga menjadi lebih ringan yaitu Rp 10 juta.

  • Ada pula pasal 607 Ayat (2) RKUHP yang diadopsi dari Pasal 11 UU Tipikor mengenai penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji. Dalam RKUHP tertulis ancaman maksimal pidana penjara selama 4 tahun, sedangkan UU Tipikor mengatur ancaman maksimal pidana penjara yang lebih lama, yakni 5 tahun. Begitu juga dengan sanksi denda di RKUHP yang lebih ringan, sebesar Rp 200 juta. Padahal, UU Tipikor menyatakan sanksi denda maksimal Rp 250 juta.

Mengacu pada ketentuan peralihan di RKUHP, dengan masuknya lima delik itu, pasal-pasal yang bersangkutan di UU Tipikor otomatis dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.


  1. Pasal Santet (Pasal 252 RUU KUHP)

(1) Setiap Orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan mental atau fisik seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. 

(2) Jika Setiap Orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melakukan perbuatan tersebut untuk mencari keuntungan atau menjadikan sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, pidananya dapat ditambah dengan 1/3 (satu per tiga).


Pembuktian

Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP sebagai berikut:

Alat bukti yang sah ialah:

  1. Keterangan Saksi;

Tentunya akan sangat sulit untuk mendapatkan saksi mengigat kagiatan mistis (santet) cinderung dilakukan secara sembuyi-sembunyi tanpa sepengatahuan banyak orang. Sedangkan terdapat asas  hukum yaitu “unus testis nulus testis” yang artiya satu saksi, bukanlah saksi.

Kendati Pasal 185 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 185 ayat (3) KUHAP menyatakan:

(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya;

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya;

Lalu bagaimana menghadirkan saksi dalam hal demikian?

  1. keterangan Ahli;

  2. surat;

  3. petunjuk;

Dalam hukum acara pidana, alat bukti petunjuk dapat diperoleh melalui:

  • Keterangan saksi (Pasal 188 ayat (2) huruf a KUHAP);

  • Surat (Pasal 188 ayat (2) huruf b KUHAP);

  • Keterangan terdakwa (Pasal 188 ayat (2) huruf c KUHAP);

  • Keterangan anak di bawah umur (Pasal 171 huruf a KUHAP);

  • Keterangan orang dengan gangguan ingatan (Pasal 171 huruf b KUHAP); dan

  • Keterangan orang dengan gangguan kejiwaan (Pasal 171 huruf b KUHAP).

  1. keterangan Terdakwa.

Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang menyatakan:

Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

Jadi dalam hal ini hakim tetap memerlukan alat bukti lain untuk memberikan keyakinan dan menyatakan bahwa terdakwa memang benar bersalah sekalipun terdakwa itu sendiri telah mengakui perbuatannya.

Namun dalam praktik pemeriksaan perkara pidana dengan acara biasa, menurut M. Yahya Harahap  pada umumnya keterangan saksi merupakan alat bukti yang utama, boleh dikatakan tidak ada perkara pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi.  


Lalu bagaimana dengan barang bukti seperti keris, boneka santet, dll?

barang bukti itu sendiri bukan merupakan suatu alat bukti, melainkan merupakan bukti tambahan belaka terhadap alat-alat bukti yang sah menurut KUHAP, yaitu sebagai bukti tambahan terhadap alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.

Pasal 183 yang selengkapnya berbunyi:

Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.

Mengapa RUU KUHP dirasa sangat mendesak bagi bangsa Indonesia?

  1. Kepastian dalam Hukum Pidana yang Masih Belum Jelas

KUHP yang berlaku di Indonesia memiliki dua terjemahan yang memiliki perbedaan signifikan baik dari segi delik dan bahkan pidananya. Namun kendati demikian hingga saat ini masih belum  ada kejelasan dari pemerintah KUHP terjemahan siapa  yang sah untuk digunakan dalam proses pengadilan. Diperparah lagi terdapat pernyataan bahwa KUHP yang saat ini masih belum dapat diterjemahkan secara lengkap. Tentunya ini sangat miris bahwa ternyata jutaan orang selama ini dipidana dengan dasar hukum yang tidak pasti, sehingga penting rasanya bagi Indonesia untuk segera memiliki KUHP sendiri.


  1. Kultur budaya yang berbeda

Jika dilacak berdasarkan sumbernya KUHP Indonesia - KUHP Belanda - KUHP Perancis - KUHP Romawi. Jika bersumber dari KUHP Romawi, maka suka atau tidak suka KUHP kita akan dipengaruhi oleh etika katholik karena romawi pada saat itu merupakan kerajaan yang beragama katholik. Hal ini dapat dilihat pada pasal 284 KUHP. Tentu dengan mayoritas penduduk Indonesia yang beragama islam walaupun dengan tetap mengutamakan keberagaman apakah hal ini dirasa cocok untuk terus diterapkan dalam hukum Indonesia?


Melihat dari bangsa lain bahwa tidak ada satu pun negara yang telah lepas dari belenggu penjajahan mampu untuk membuat KUHP-nya sendiri dalam waktu yang singkat. Belanda misalnya yang memerlukan waktu selama 70 tahun setelah lepas dari penjajahan Perancis, dan yang paling cepat dari Portugal yang membutuhkan waktu kurang lebih 60 tahun untuk bisa membuat KUHP-nya sendiri. Jika Indonesia mampu mengesahkan KUHP di tahun ini, maka bisa dikatakan bahwa Indonesia merupakan negara tercepat yang mampu membuat KUHP-nya sendiri yaitu hanya dalam waktu 58 tahun setelah lepas dari penjajahan. Kendati demikian melihat Belanda sebagai negara yang tidak lebih luas daripada provinsi Jawa Barat dan penduduknya yang homogen memerlukan waktu selama 70 tahun, lalu bagaimana dengan Indonesia yang luasnya 5.193.250 km2, jemlah penduduk terbanyak ke-4 di dunia, serta kultur budaya dan agama yang beraneka ragam apakah bisa membuat KUHP yang mampu menyatukan berbagai perbedaan dalam waktu yang terbilang singkat?

Walaupun dari pihak pemerintah mengatakan telah banyak melakukan diskusi dan sosialisasi untuk perbaikan RUU KUHP yang sebelumnya telah dibatalkan oleh MK pada tahun 2019 lalu, namun setidaknya masyarakat harus dapat untuk mengakses draft dari RUU KUHP yang terbaru mengingat masyarakatlah yang nantinya akan terdampak secara langsung dari RUU KUHP itu sendiri. Oleh karenanya penting masyarakat berhak untuk ikut serta mengawasi bahkan berpartisipasi dalam proses pembuatan RUU KUHP tersebut.

Kesimpulannya, kami menyatakan mendukung terhadap pengesahan RUU KUHP mengingat urgensi sebagaimana diuraikan diatas, namun dengan pertimbangan bahwa pemerintah harus memperhatikan lagi setidaknaya untuk pasal-pasal yang kontroversial saja agar bisa diperbaiki dan membuka ruang publik yang lebih luas dalam pembahasannya. 

Div. PSDM & Div. Diskusi dan Kajian

            

Posting Komentar untuk " Diskusi Internal Divisi Diskusi dan Kajian Tema : “Menelaah RUU KUHP tanpa Transparansi”"