Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PERAN LEGISLATIF DALAM MERUMUSKAN KEBIJAKAN UNTUK MEWUJUDKAN KESEMPATAN KERJA BAGI PENYANDANG DISABILITAS

 Penulis :

Nafa Ramadhina L.BDzatul Kahfi Bagus RinangkuMuhammad Ferdandi Alfiansyah

A. PENDAHULUAN

Semua orang sepakat penyandang disabilitas harus mendapatkan harkat dan martabat yang sama seperti manusia pada umumnya, bukan menjadi objek belas kasihan. Penyandang disabilitas memiliki hak perlindungan, keadilan, kesetaraan, dan fasilitas sebagai penunjang. Para penyandang disabilitas hidup dalam kondisi yang rentan dan keterbatasan ekonomi. Beberapa indikator sosial ekonomi menunjukkan bahwa penyandang disabilitas belum sepenuhnya mendapat kesejahteraan yang diharapkan. Contoh, di Indonesia 71,4% penduduk penyandang disabilitas adalah pekerja informal.Hal ini disebabkan oleh kurangnya peluang mereka dalam pasar tenaga kerjaMelihatadanya kondisi tersebut, maka pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang bertujuan untuk memberikan perlindungan, keadilan, dan kesetaraan hak dengan manusia secara umum kepada penyandang disabilitas. 

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas berupaya menjamin hak-hak bagi penyandang disabilitas, salah satunya adalah hak untuk bekerja. Bekerja merupakan kegiatan manusia yang bertujuan untuk bertahan hidup dan mendapatkan penghidupan yang layak. Setiap manusia memiliki hak untuk bekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat (2) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Begitupun dengan penyandang disabilitas yang juga harus memperoleh kesempatan yang sama dalam pekerjaan. Hal tersebut sejalan dengan Pasal 11 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas bahwa penyandang disabilitas berhak memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa diskriminasi.

Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pekerja penyandang disabilitas di Indonesia mencapai 720.748 orang pada 2022. Jumlah ini mencapai sekira 0,53% dari total penduduk yang bekerja RI yang sebanyak 131,05 juta pada tahun lalu. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menyatakan bahwa 16,5 juta penyandang disabilitas telah memasuki usia produktif untuk bekerja. Kenyataannya, hanya 7,6 juta orang yang bekerja. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan per tanggal 31 Desember 2022 pada Sistem Ketenagakerjaan (SISNAKER) menunjukkan hanya 1,73 persen atau 969 perusahaan di seluruh Indonesia yang memperkerjakan pekerjapenyandang disabilitas. Selain itu, hanya 0,02 persen atau 3.433 tenaga kerja disabilitas yang terserap dari potensi penduduk usia kerja oleh perusahaan.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah memberikan ketegasan dalam menyediakan lapangan pekerjaan. Hal ini sesungguhnya telah tertuang dalam Pasal 53 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas bahwa “Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah berkewajiban untuk mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas darjumlah pegawai atau pekerja.” Selanjutnya pada Ayat (2) menjelaskan bahwa “Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.”

Sulitnya penyandang disabilitas mendapatkan pekerjaan didasarkan dengan data diatas, Pasal 53 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 belum mampu menyerap tenaga kerja terhadap penyandang disabilitas. Melihat hal tersebut, kebijakan konkret dan eksplisit diperlukan untuk mewujudkan kesempatan yang sama dalam memperoleh pekerjaan terhadap mereka. Lembaga legislatif berperan sebagai lembaga yang membentuk kebijakan sesuai kebutuhan masyarakat tanpa terkecuali. Pekerja penyandang disabilitas perlu diintegrasikan ke dalam dunia kerja sehingga mereka dapat mengakses pekerjaan untuk memenuhi hidup dan meningkatkan keterampilan sosial.

 

B. ISI   

Lembaga legislatif merupakan salah satu organ kekuasaan yang mencerminkan kedaulatan rakyat. Peran penting lembaga legislatif sebagai pejabat yang berwenang mempunyai posisi sebagai pembuat norma hukum utama yang nantinya akan dituangkan dalam bentuk peraturan atau perundang-undangan tertulis. Prof. Jimly Asshiddiqie, menguraikan bahwa kewenangan untuk mengatur dan membuat aturan (regeling) pada dasarnya merupakan domain kewenangan legislatif berdasarkan prinsip kedaulatan, merupakan kewenangan eksklusif wakil rakyat yang berdaulat untuk menentukan sesuatu peraturan yang mengikat dan membatasikebebasan setiap individu warga negara (presumption of liberty of the sovereign people).Dijelaskan lebih lanjut oleh C.F Strong, lembaga legislatif merupakan kekuasaan pemerintahan yang mengurusi pembuatan hukum, sejauh hukum tersebut memerlukan kekuatan undang-undang (statutory force). Dengan besarnya kewenangan yang dipegang oleh lembaga legislatif sebagai pelaksana prinsip kedaulatan rakyat, maka peran penting sebagai penentu kebijakan dalam bentuk Undang-Undang yang bersifat mengikat dan membatasi setiap individu harus didasarkan pada kesejahteraan rakyat.

Salah satu produk hukum dari lembaga legislatif Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas merupakan produk hukum yang bersifat non-diskriminatifyang bertujuan untuk melindungi hak-hak penyandang disabilitas. Salah satu dari hak tersebut adalah ketentuan yang berfokus pada perlindungan hak-hak penyandang disabilitas pada bidang Ketenagakerjaan sebagaimana Pasal 5 huruf f yang menyatakan bahwa Penyandang Disabilitas berhak atas pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi. Undang-undang ini juga menegaskan adanya kewajiban terhadap pemerintah dan perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja penyandang disabilitas. Pemerintah yang dimaksud meliputi pemerintah pusat dan pemerintah daerah, adapun perusahaan meliputi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan perusahaan swasta. Pengaturan tentang ketentuan batas minimal tersebut terdapat pada Pasal 53 Ayat (1) dan (2) Undang- Undang Penyandang Disabilitas menyatakan bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah berkewajiban untuk mempekerjakan paling sedikit 2% (dua persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja.” Selanjutnya pada ayat (2) menjelaskan bahwa “Perusahaan swasta wajib mempekerjakan paling sedikit 1% (satu persen) Penyandang Disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerja yang diharapkan dapat meningkatkan kehidupan yang sejahtera, mandiri dan tanpa diskriminasi.

Lembaga legislatif perlu untuk memahami terlebih dahulu terhadap pembentukan hukum itu sendiri. Menurut Utrecht, hukum mengatur tata tertib dan seharusnya ditaati dalam masyarakat, jika dilanggar dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah dari masyarakat itu. Lebih lanjut dijelaskan dalam membuat hukum diperlukan syarat- syarat tertentu, antara lain :

1. Syarat materiil: Adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan berulang-ulang di dalam masyarakat tertentu (longa et invetarata consuetindo);
2. Syarat intelektual: Adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan (opini necesscitatis).
3. Adanya akibat hukum apabila hukum itu dilanggar.

Sesuai dengan pendapat yang dipaparkan Utrecht, adanya akibat hukum apabila hukum itu dilanggar menjadi salah satu syarat terhadap adanya hukum itu sendiri. Dalam Pasal 53 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 memberikan fakta yang berbeda dengan tidak menjelaskan adanya akibat hukum yang sejalan dengan pendapat Utrecht. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 sejatinya telah mengatur ketentuan sanksi seperti yang termuat dalam Pasal 145. Pasal tersebut menjelaskan bahwa “Setiap Orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).” Namun perlu dipahami bahwa makna “Setiap Orang” yang merupakan subjek hukum dalam Pasal 145 tidak dapat disamakan dengan makna “Pemerintah, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, dan Badan Usaha Milik Daerah” maupun makna “Perusahaan Swasta” yang merupakan subjek hukum dalam Pasal 53 Ayat (1) dan (2). Selain itu frasa “menghalang-halangi” tidak dapat disamakan dengan frasa “kewajiban”. Lebih konkritnya pemberlakuan sanksi pada Pasal 145 ini merujuk pada ketentuan Pasal 143 dan tidak merujuk terhadap Pasal 53. Adapun di ketentuan lain dalam Pasal 50 Ayat (4) hanya menjelaskan bahwa Pemberi kerja yang tidak menyediakan akomodasi yang layak dan fasilitas yang mudah diakses oleh tenaga kerja penyandang disabilitas dikenakan sanksi administratif berupa:

a. teguran tertulis;
b. penghentian kegiatan operasional;
c. pembekuan izin usaha; dan
d. pencabutan izin usaha.

Dari kedua pasal yang telah uraikan, tidak dapat menjawab sanksi yang dapat diberlakukan terhadap pelanggaran pada Pasal 53 apabila tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud.

Implementasi dari Pasal tersebut masih menghadapi berbagai tantangan, terutama pada aksesibilitas dan diskriminasi. Sebagai contoh, perusahaan memberikan persyaratan yang sangat tinggi bagi disabilitas, seperti syarat pendidikan yang tinggi. Oleh karenanya itu, tak heran jika masih banyak penyandang disabilitas yang mengeluhkan sulitnya memperoleh pekerjaan, seperti dikemukakan oleh Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) yang menyatakan bahwa seleksi CPNS 2019 memuatpersyaratan yang memberatkan penyandangdisabilitas. Selain itu, seorang penyandang disabilitas mengatakan bahwa dirinya kesulitan mendapatkan pekerjaan, bahkan selalu gagalsetelah melamar hampir 50 pekerjaan. Bahkan,menurut perwakilan PPPA, Nahar, menyatakantidak semua penyandang disabilitas di Indonesia bisa mendapatkan pekerjaaan karena adanya diskriminasi dalam proses penerimaan kerja.

Sebagai representasi kedaulatan rakyat, tentu diperlukan kehati-hatian bagi lembaga legislatif dalam pembuatan kebijakan agar produk hukum yang dihasilkan benar-benar berpihak dan memberikan kebermanfaatan bagi rakyat. Idealnya terdapat tujuh asas yang harus dipenuhi oleh pembuat kebijakan dalam perumusan Undang-Undang. Asas-asas tersebut antara lain asas kejelasan tujuan, asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan, asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, asas kejelasan rumusan, asas keterbukaan. Jika dicermati dalam Pasal 53 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 asas dapat dilaksanakan masih belum terpenuhi, di mana dalam Pasal tersebut kurang memperhitungkan efektivitas di dalam masyarakat berupa tidak adanya sanksi bagi para pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud, pemberlakuan sanksi seperti pada Pasal 145 hanya merujuk pada Pasal 143.

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa suatu undang-undang dapat dikatakan efektif apabila mempunyai akibat hukum  positif, apabila mencapai tujuan untuk mengarahkan atau mengatur tingkah laku manusia sehingga menjadi tingkah laku hukum. Berdasarkan pendapattersebut, dapat diketahui bahwa faktor penunjang dari efektif atau tidaknya pemberlakuan hukum bergantung pada hukum itu sendiri berkaitan dengan sanksi yang diancam dalam suatu undang-undang apabila terjadi pelanggaran terhadap pelaksanaan aturan dalam undang-undang tersebut. Jika hal demikian terjadi tentu akan berdampak pada kualitas produk hukum itu sendiri. yang mana nantinya tujuan dari Pasal 53 berupa pemenuhan hak disabilitas dalam mendapatkan pekerjaan juga akan sulit tercapai. 

 

C. PENUTUP

Penyandang Disabilitas umumnya dinilai rentan, baik dari aspek ekonomi, pendidikan, keterampilan, maupun kemasyarakatannya, sehingga menyebabkan penyandang disabilitasbelum seluruhnya dimanfaatkan oleh perusahaan- perusahaan sebagai suatu kebutuhan untuk kelangsungan hidup. Padahal, penyandang disabilitas bekerja bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan secara ekonomi, akan tetapi juga berpengaruh dalam bidang sosial.Namun pengaturan terhadap pemberian  kesempatan  kerja bagi penyandang disabilitas dalam Pasal 53 Ayat (1) dan (2) UU Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas masih kurang memberikan kejelasan terkait penegakan hukum dari pasal tersebut. Pasal tersebut dinilai masih abstrak karena tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai konsekuensi yang diberikan jika terdapat pelanggaran didalamnya. 

Hans Kelsen berpendapat bahwa secara mendasar perbedaan antara hukum dan moral adalah hukum merupakan tatanan pemaksa, yakni sebuah tatanan norma yang berupaya mewujudkan perilaku tertentu dengan memberikan tindakan paksa yang diorganisir secara sosial kepada perilaku yang sebaliknya, sedangkan moral merupakan tatanan sosial yang tidak memiliki sanksi semacam itu. Dari sanksi lah maka dapat dibedakan antara norma hukum dengan norma lainnya. Pencantuman sanksi pula harus disesuaikan dengan substansi yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Sanksi yang tidak memadai akan membuat peraturan perundang-undangan yang dibentuk menjadi tidak efektif atautidak ada hasil. Hal ini sesuai dengan salah satu asas yang harus dipenuhi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu asas dapat dilaksanakan. Artinya, setiap peraturan perundang-undangan yang dibuat harus memperhitungkan efektivitasnya di dalam masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.

Oleh karena itu, diperlukan adanya peraturan turunan yang memuat tindakan, berupa kebijakan yang mensyaratkan dikenakannya perlindungan hak bagi kelompok penyandang disabilitas yang lebih  menekankan pada konsekuensi atau penegakan hukum yang terkait dengan pemberlakuan Pasal 53. Kebijakan tersebut dapat berupa pemberian kewenangan terhadap lembaga tertentu untuk melakukan pengawasan dan penindakan dalam bentuk sanksi administratif bagi para pihak yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud berupa teguran tertulis, menghentikan kegiatan operasional, membekuan izin usaha, dan mencabut izin usaha. Tujuan dan isi dari Pasal ini telah memberikan gambaran yang jelas dalam upaya untuk menjamin hak memperoleh pekerjaan terhadap penyandang disabilitas. Namun pemberian sanksi dalam peraturan perundang- undangan juga dinilai sangat penting untuk memberikan ketegasan dalam menerapkan peraturan yang berlaku. Lembaga legislatif sebagai representasi kedaulatan rakyat juga berperan penting untuk benar-benar memperhatikan efektivitas dari peraturan tersebut sehingga dipastikan penyandang disabilitas bisa mendapatkan kesamaan hak dan kesempatan dalam memperoleh pekerjaan. Dengan demikian, penyandang disabilitas dapat membuktikan bahwa mereka juga mempunyai keterampilan dan kompetensi dalam kehidupannya meskipun memiliki kekurangan fisik dan tidak dipandang sebelah mata.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Undang-Undang

Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Disabilitas.

BUKU

Fajri, Nursyamsi, Muhammad Nur Ramadhan, Herman Palani, dan Ega Kurnia Yazid. Kajian Disabilitas, Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis, 2021.

Jurnal

Apsari, N. C., & Mulyana, N. (2018). Penyandang Disabilitas dalam Dunia Kerja.

Brando Tobeoto, Telly Sumbu, Donna O. Setiabudhi. “FUNGSI DAN PERAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA DI BIDANG PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG.” Lex Administratum 8, no. 32 (2020): 73–92. http://hpj.journals.pnu.ac.ir/article_6498.html.

DM, Mohd. Yusuf, Tunggul Sihotang, Gabriel Francius Silaen, Nurul Anissa, dan Geofani Milthree Saragih. “Perspektif Sosiologi Terhadap Efektivitas Penegakan Hukum di Masyarakat.” Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK) 5, no. 2 (2023): 1118–22.

Fajri, Nursyamsi, Muhammad Nur Ramadhan, Herman Palani, dan Ega Kurnia Yazid. Kajian Disabilitas, Tinjauan Peningkatan Akses dan Taraf Hidup Penyandang Disabilitas Indonesia : Aspek Sosioekonomi dan Yuridis, 2021.

Focus: Jurnal Pekerjaan Sosial1(3), 234-244.

Huda, Muhammad MIftahul, Suwandi Suwandi, dan Aunur Rofiq. “Implementasi Tanggung Jawab Negara Terhadap Pelanggaran HAM Berat Paniai Perspektif Teori Efektivitas Hukum Soerjono Soekanto.” IN RIGHT: Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia 11, no. 1 (2022): 115.https://doi.org/10.14421/inright.v11i1.2591.

Pratiwi, A. S., Sonhaji, S., Suhartoyo, S., & Pujiastuti, E. (2023). Pelaksanaan Pemberian Sanksi Bagi Perusahaan Yang Tidak Mempekerjakan Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas. JURNAL USM LAW REVIEW6(1), 388- 406.

Rajab, A. (2017) “Peran Penting Badan Keahlian Dpr Ri Dalam Sistem Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Mendukung Terwujudnya Keadilan Untuk Kedamaian,” Journal Legislasi Indonesiaurnal Legislasi Indonesia, 14(02), hal. 233–244.

Setiadi, Wicipto. “Sanksi Administratif Sebagai Salah Satu Instrumen Penegakan Hukum Dalam Peraturan Perundang-Undangan.” Jurnal Legislasi Indonesia 6, no. 4 (2009): 603–14.

Wijayanti, Winda. “Eksistensi Undang-Undang Sebagai Produk Hukum dalam Pemenuhan Keadilan Bagi Rakyat (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-X/2012).” Jurnal Konstitusi 10, no. 1 (2016): 179.https://doi.org/10.31078/jk1018.

Internet

Cindy Mutia Annur (2023) Jumlah Pekerja Disabilitas Indonesia Meningkat pada 2022, Didominasi Laki-lakiDataboks. Tersedia pada: https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/06/22/jumlah-pekerja-disabilitas-indonesia-meningkat-pada-2022-didominasi-laki-laki#:~:text=Menurut laporan Badan Pusat Statistik,05 juta pada tahun lalu. (Diakses: 28 Oktober 2023).

Nabila Aditya & Ellyana Dwi Farisandy. “Disabilitas Di Indonesia: Akses Ke Pekerjaan Masih Mengalami Diskriminasi.” BULETIN KPTN, 2022. https://buletin.k-pin.org/index.php/arsip-artikel/1172-disabilitas-di-indonesia-akses-ke-pekerjaan-masih-mengalami-diskriminasi.

Safutra, Ilham. “Pekerja Penyandang Disabilitas Harus Mendapat Kesetaraan di Lingkungan Kerja.” Jawa Pos.Com, 2023. https://www.jawapos.com/lifestyle/012904338/pekerja-penyandang-disabilitas-harus-mendapat-kesetaraan-di-lingkungan-kerja.

TBNEWS POLDA KEPRI NETWORK. Ini Pendapat Para Pakar tentang Hukum dan Sanksi. 2019, (Ini Pendapat Para Pakar tentang Hukum dan Sanksi – Tribratanews Polda Kepri (polri.go.id) Diakses 19 Oktober 2023.

Tim Hukumonline (2023) 15 Pengertian Hukum Menurut Para Ahli Hukumhukumonline.com. Tersedia pada: https://www.hukumonline.com/berita/a/pengertian-hukum-menurut-para-ahli-hukum-lt62e73b860a678/ (Diakses: 24 Oktober 2023).

 

 

Posting Komentar untuk " PERAN LEGISLATIF DALAM MERUMUSKAN KEBIJAKAN UNTUK MEWUJUDKAN KESEMPATAN KERJA BAGI PENYANDANG DISABILITAS"