Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

URGENSI PENEGAKAN PRINSIP JUDICIAL RESTRAINT DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014

 


Penulis: Kevin Verrell Nurreyhan dan Najwa Rizkia Ramadhani


Latar Belakang 

    Mahkamah konstitusi termasuk persekutuan baru karena merupakan badan negara peradilan yang dibuat pasca reformasi. Seperti yang sudah jelas tertera pada undang-undang dasar 1995 pasal 24C berkenaan hak terikat Mahkamah Konstitusi, berupa mengadili di tingkat pertama hingga pada tingkat terakhir dan putusannya bersifat akhir/final sebagai penguji perundang-undangan terhadap undang-undang dasar. Dalam menjalani fungsi dan wewenangnya tersebut hakim mahkamah konstitusi dalam pengambilan keputusannya harus menggunakan prosedur, asas, dan prinsip yang jelas. Salah satu prinsip penting yang harus dipegang sebagai seorang hakim mahkamah konstitusi adalah prinsip judicial restraint. Prinsip ini berkenaan dengan konsep pemisahan kekuasaan sebagaimana yang dijelaskan oleh Montesquieu. Dimana setiap lembaga negara memiliki porsi dan batasannya sendiri-sendiri dalam menjalankan wewenangnya. Tidak hanya itu terdapat pula prinsip judicial activism yang secara pengertian terkesan bertolak belakang dengan prinsip judicial restraint. 

    Mahkamah Konstitusi merupakan harapan dan jalan terakhir yang dapat ditempuh seluruh masyarakat untuk menuntut keadilan atas peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak adil, serta merugikan berbagai pihak. Oleh karena itu mahkamah konstitusi diharapkan dapat mengeluarkan putusan yang sebijak-bijaknya dengan selalu menerapkan prosedur, asas, prinsip, serta batasan-batasan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Prosedur, asas, prinsip, serta batasan pengambilan keputusan oleh hakim tersebut tidak lain demi mewujudkan keadilan dan ditetapkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 pasal 5 ayat (1) mengenai hak diperoleh hakiman, yang didalamnya mengandung tanggung jawab yang melekat kepada seorang hakim untuk berperan aktif dalam upaya mencapai keadilan bagi warga negara.1 Oleh karena itu kami penulis, akan menganalisis salah satu Keputusan mahkamah konstitusi nomor 21/PUU-XII/2014 mengenai review sebuah Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) dimana menurut penulis telah mengambil keputusan yang terkesan terburu-buru dengan menggunakan prinsip judicial activism padahal dalam situasi yang tidak mendesak. 

    Yudisialisasi politik, sejatinya sebuah kewenangan peradilan modern yang secara sah berperan sebagai pembuat kebijakan (judicial policy making). Dimana awalnya pembuat kebijakan hanya dari parlemen tanpa melibatkan bagian peradilan. Sekarang ini, kekuasaan parlemen dan kan kekuasan peradilan sama-sama memiliki peran dalam pembuatan kebijakan. Akan tetapi wewenang dalam pembuatan kebijakan antara parlemen dan kekuasaan peradilan (Mahkamah Konstitusi) di sini dalam artian berbeda. Kelsen membedakan peranan masing-masing sebagai pembuat hukum dengan cara, yaitu parlemen merupakan positive legislators yang artinya badan legislatif mempunyai wewenang untuk merancang aturan hukum dengan sistematik berdasarkan sumber kebijakan akan dibuat Dimana rancangan hukum hanya dipersempit oleh konstitusi. Disisi lain, bahwa mahkamah konsitusi sebagai negative legislators artinya kewenangannya terbatas pada pembatalan keberlakuan undang-undang yang bertolak belakang dengan konstitusi, sehingga mahkamah konstitusi sebatas menentukan apakah undang-undang tersebut konstitusional atau tidak konstitusional. Batasan ini diperjelas oleh adanya prinsip judicial restraint. 

    Walaupun mahkamah konstitusi dianggap terafiliasi dalam sebuah bentuk organisasi politik, walaupun begitu dalam organisasi politik yang bersifat special.3 Mahkamah konstitusi bukanlah badan legislatif dalam hal ini lembaga perwakilan dan hakim konstitusi juga bukanlah wakil rakyat. Oleh karena itu, pada saat mahkamah konstitusi dalam pembuatan kajian hukum maka legitimasi putusan wajib berdasarkan sumber hukum konkrit dan menyakinkan. Walaupun peran mahkamah konstitusi bersinggungan dengan badan legislatif dimana masuk dalam bidang politik, akan tetapi dalam pengambilan keputusannya hakim mahkamah konstitusi harus bersikap independen dan dalam keputusannya tidak boleh terjadi intervensi dari pihak luar khususnya kepentingan politik. Salah satu prinsip Mahkamah Konstitusi adalah memberikan posisi hukum diatur di Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 20034 merupakan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, yang berhubungan dengan Pasal 1 angka 2, Pasal 1 angka 14, Pasal 17, Pasal 21 ayat (1), Pasal 77 huruf (a), dan Pasal 156 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kewenangan konstitusional tersebut, berlandaskan pasal 51 ayat (1) UU MK, mencakup kerugian konstitusional yang diakibatkan oleh terhapusnya hak untuk bekerja dilanjutkan larangan berinteraksi sosial dan berbicara secara layak, serta manusiawi diakibatkan kasus terdakwa/tersangka tindak pidana korupsi yang disandarkan kepada pemohon.

    Fenomena ini terjadi disebabkan Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan konstitusional untuk menilai keselarasan mengenai suatu peraturan perundang-undang dengan Undang-Undang Dasar serta menguji validitas atas Undang-Undang Dasar itu sendiri. Dalam prosesnya, Mahkamah Konstitusi mempunyai hak untuk tidak menyetujui bagian-bagian dari Undang-Undang sudah dianggap berseberangan dengan konstitusi. Dalam beberapa kasus, Mahkamah Konstitusi bahkan dapat mengubah kebijakan telah diputuskan dalam rancangan UU Mahkamah Konstitusi bahkan dapat mengubah kebijakan telah diputuskan dalam suatu rancangan Perundang-Undangan. Contohnya, dicerminkan oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002. Melarang/mencabut putusan tersebut karena tidak sesuai dengan uji materi UU tersebut, adanya indikasi bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki peran begitu penting sebagai “pengawal konstitusi”. Sesuai prinsip-prinsip tertuang sebuah bentuk Undang-Undang Dasar 1945.5 Beralaskan hal tersebut, penulis ingin mengangkat masalah pengambilan keputusan mahkamah konstitusi berkaitan dengan prinsip-prinsipnya. Penulis mempertanyakan apakah keputusankeputusan Mahkamah Konstitusi selama ini telah sesuai dengan prosedur dan prinsip dengan mengedepankan kepentingan serta keadilan seluruh warga negara Indonesia. Pada kesempatan kali ini penulis akan mengkaji dan menganalisis salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yaitu putusan No. 21/PUU-XII/2014.

Metode Penelitian 

Penelitian yang diuraikan memakai metode penelitian yang bersifat kualitatif, dengan studi pustaka dalam menganalisis Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 yang pembahasannya mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah dijelaskan dalam sebuah keputusan hukum yang dikeluarkan oleh Mahkamah. Konsep ini menekankan terhadap kajian hukum normatif yang berkonsentrasi prinsip judicial restraint. Menggunakan pendekatan peraturan (statuta approach), dan konseptual (conceptual approach). Sumber penelitian berasal dari bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan dan teori hukum, yaitu bahan sekunder seperti skripsi, jurnal hukum, buku, berbagai hasil penelitian, dan karya tulis ilmiah dari bidang hukum terkait judicial restraint, judicial activism, serta yudisialisasi politik.

Pembahasan

Prinsip MK dalam Kewenangan Menafsirkan Perundang-Undangan 

Mahkamah Konstitusi berperan sebagai gerbang, maka konstitusi sebagai kunci yang tugasnya dalam menginterpretasi isi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.6 Dimana Mahkamah Konstitusi berperan menjaga konsistensi dan kepatuhan terhadap nilai dan prinsip yang dikandung oleh konstitusi, terutama terkait dengan amandemennya. Dalam melakukan ini, Mahkamah Konstitusi melakukan penafsiran terhadap konstitusi melalui proses pengujian yang berkaitan dengan pasal-pasal konstitusi dalam situasi dan kejadian tertentu. Dalam proses ini, Mahkamah Konstitusi bertujuan untuk menolak pertentangan antara norma hukum dengan beberapa prinsip dalam konstitusi melalui prinsip pengujian perundang-undangan (judicial review), yang mencakup review terhadap lembaga pengurus pelaksana negara (executive review), serta dalam pengujian legislatif (legislative review).7 Penerapan prinsip-prinsip tersebut akan memperkuat Mahkamah Konstitusi sebagai penjaga konstitusi dalam prinsip pembagian wewenang pemerintahan (Separation of Power), karena penggunaan “judicial restraint” mengharuskan hakim menahan diri dari pembentukan norma atau hukum baru (negative legislature), agar dapat mempertahankan prinsip pemisahan kekuasaan sebagai penyeimbang checks and balances dalam asas pendistribusian kekuasaan dan pemahaman pemusatan kekuasaan dari sebuah institusi pemerintah yang berpengaruh. 

    Dalam interpretasi primer untuk menilai kepatuhan terhadap norma hukum., terdapat penggunaan original intent bahwa hakim harus memberikan acuan berupa original intent suatu produk hukum untuk mengetahui makna utama dalam konstitusi. Profesor Mahfud MD, dalam kutipan bukunya, berpendapat pengujian dapat dilakukan dengan adanya kecocokan antara substansi Undang-Undang dengan nilai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Keseluruhan elemen yang ada dalam konstitusi, termasuk kedua aspek penulisan dan konteks pemikiran yang mengilhami substansi konstitusi, tanpa tergantung pada teori yang diterapkan di negara lain.9 konstitusi yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi adalah mematenkan original intent prinsip tolak ukurnya dalam penafsiran UUD 1945.10 Salah satu prinsip dalam penafsiran undang-undang oleh MK, yaitu Judicial restraint yang dimana pada awalnya sebuah pemikiran analogi yang tumbuh di Amerika dimana menjadi bagian dalam implementasi sebuah pelaksanaan prinsip pemisahan kekuasaan yang dipelopori oleh Montesquieu. Judicial restraint mengakibatkan pengadilan harus bertindak selayaknya sebuah “mini parliament”. Salah satu perbuatan pengadilan yang digolongkan sebagai tindakan yang seharusnya merupakan kewenangan dari parlemen (lembaga legislatif) dalam berbuat hukum yang baru untuk memutus perkara judicial review. 

    Pembatasan merupakan bentuk akal sehat/ kesadaran dari pengadilan itu sendiri dimana pengadilan tidak termasuk lembaga utama (primary custodian) di sebuah sistem politik dalam negara berprinsip berdemokrasi, sehingga pengadilan tidak berhak membuat hukum dan norma baru. MK hanya berhak menguji konstitusional-nya. Meskipun begitu, dalam praktik judicial review di Indonesia ditemukan sejumlah keputusan MK tidak hanya menguji konstitusionalnya saja, namun mengambil bagian dalam penentuan norma untuk mengatur mengubah atau mengganti atau mengganti arti dari suatu norma dalam Undang-Undang Dasar yang keluar dari original intent mempengaruhi pembentuknya. Jabatan hakim dalam bidang hukum memiliki wewenang sebagai pembuat hukum maupun melakukan perubahan konstitusi dengan tata cara penafsiran konstitusi. Akan tetapi, dalam judicial restraint terdapat aturan khusus supaya hakim dalam pengadilan MK dapat lebih berhati-hati untuk melaksanakan penafsiran hukum sehingga hasil akhir putusannya tidak membentuk norma hukum yang baru dan tidak melanggar prinsip norma dan peraturan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar 1945. 

    Bukan hanya itu terdapat pula prinsip Judicial activism yang merupakan kebalikan dari Judicial restraint dimana para hakim dituntut untuk lebih aktif dalam pembuatan hukum atau norma baru demi menghindari kekosongan hukum (positive legislature). Berkaitan dengan Judicial restraint dan Judicial activism, mereka saling dihadap-hadapkan dalam proses yudisial di Mahkamah Konstitusi. Konsep dari praktik judicial activism yaitu sebagai penyesuaian hukum terhadap perkembangan sosial masyarakat dengan menggunakan kaidah pengembangan asas-asas dalam konstitusi ataupun keputusan yang sudah ada sebelumnya bertujuan untuk menerapkan nilai-nilai konstitusional dengan progresif.

    Terdapat dua pemaknaan dalam judicial activism. Pertama, sifat putusan ultra petita yang artinya hasil dari pengujian perkara oleh hakim, dimana penjatuhan putusan perkara yang melebihi dari apa yang dimintakan pemohon kepada majelis hakim.13 Kedua, keputusan yang membentuk norma hukum baru (positive legislature). Terdapat pro dan kontra dalam pelaksanaan prinsip judicial activism, satu sisi menurut Aharon Barak yang dimaknai sebagai “judicial discretion” muncul karena adanya persoalan yang kompleks, dimana menjadi kewenangan wajib bagi pengadilan untuk menemukan penyelesaiannya meskipun tanpa adanya hukum formal yang memadai demi menghendaki setiap pengadilan dapat memberikan keadilan yang sesungguhnya kepada warga negara. pandangan ini penyangkal pendapat yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman fungsinya hanya sebatas melakukan penafsiran hukum yang seringkali tidak dapat menemukan solusi atas persoalan-persoalan yang ada. Namun disisi lain, hal ini beresiko menghianati prinsip dasar ketatanegaraan dalam negara demokrasi, serta prinsip pemisahan kekuasaan. Karena, pembuatan norma hukum baru merupakan wewenang lembaga legislatif. Oleh karena itu, ditakutkan terlalu besarnya antusiasme dalam menjalankan judicial activism ini dapat menimbulkan dampak pada kondisi demokrasi yang tidak sehat. Sehingga, perlu adanya pengawalan dalam implementasi praktik judicial activism oleh pengkritik akademik yang bersifat membangun sehingga turut menjaga legitimasi pengadilan konstitusi.

Konsep Penerapan Judicial Restraint dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 

    Mahkamah konstitusi memiliki kekuasaan yang sudah tercantum dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi kewenangannya menghukum dalam tingkat dasar/pertama dan hingga tingkat paling akhir ditempuh/ final. Kekuatan putusan mengikat pada tingkat akhir sebagai pengujian undang-undang atas Undang-Undang Dasar 1945. Dipertegas pada pasal 29 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 mengenai kekuasaan kehakiman mengatakan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama dan tingkat final. Bahwa, dipertegas pada pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 yang dinamai Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Melalui pasal diatas maka objek diujikan dalam KUHAP, seperti dalam pasal-1 urutan ke-2, pasal 1 urutan ke-14, pasal 17, pasal 21 ayat (1), pasal 77 huruf (a), dan pasal 156 ayat (2) KUHAP. 

 Mahkamah Konstitusi berhak memutus termasuk mengadili permohonan yang dilampirkan. Pertimbangan kehakiman berdasarkan kepada legal standing/kedudukan hukum menganut pasal 51 ayat 1 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, seorang pemohon yang mengajukan merupakan pihak dianggap hak yang negara yang dimiliki dihilangkan merasa dirugikan karena diterapkannya suatu Undang-Undang. Yaitu (1) komplitnya syarat sebagai pemohon, dan (2) pemohon yang merasa dirugikan karena berlakunya suatu Undang-Undang memiliki hak kewenangan secara konstitusional. Tolak ukur kerugian yang dimaksud oleh MK muncul dikarenakan berlakunya undang-undang wajib sesuai dengan lima syarat kesesuaian dengan uraian berikut: Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUUV/2007. Memiliki kewenangan konstitusional para pemohon. diberikan oleh UUD 1945. Bersifat supaya memeriksa bahwa undang-undang sudah sejalur dengan marwah konstitusi Memiliki kesepakatan konstitusional para pemohon merasa dirugikan oleh suatu hukum yang diujikan. Mereka sepakat adanya hak direnggut berupa hal yang dapat dirugikan secara hak dijamin konstitusional melalui pengujian undang-undang Kerugian yang timbul oleh para pemohon diharuskan untuk spesifik dan aktual, atau memiliki potensi yang dapat dinalar dengan pertimbangan yang wajar. Banyak kerugian analisis melalui asas kausalitas akan terjadi setelah berlakunya undang-undang terdapat kesempatan pemohon, jika dikabulkan permohonan tersebut maka apapun kerugian konstitusional akan dipulihkan. 

    Melihat dari dua putusan tersebut maka pemohon memiliki kedudukan Para pemohon mepunyai hak yang dijamin negara untuk diakui, dijamin, dan perlindungan hukum tertuang dalam pasal 28d ayat (1) ayat 3 UUD 1945. Mendapatkan kedudukan yang diberikan negara adalah, mendapatkan kedudukan di depan hukum, termasuk untuk mendapatkan perlindungan terhadap tuduhan diberikan. Para pemohon tidak mendapatkan keuntungan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), melalui sengketa dipermasalahkan. Kerugian bersifat khusus dan nyata pasal 1 angka 2, pasal 1 angka 14, pasal 17, pasal 21 ayat (1), pasal 77 huruf (a) dan pasal 156 ayat (2) KUHAP dalam proses pidana. Terlihat terhadap tuduhan terhadap pemohon sebagai tersangka, penangkapan, dan penahanan. Berlandaskan pada pasal 156 sudah disahkan melalui eksepsi. Terdapat hubungan kausalitas menyangkut ketidak berpihakan hak konstitusional, para pemohon dikarenakan berlakunya pasal dalam KUHAP bermasalah. Dapat diuji dengan Pasal 28D ayat (1) dan pasal 1 ayat (3) UUD 1945, dikarenakan hal yang merugikan para pemohon telah terjadi. Apabila permohonan dikabulkan maka pemohon dalam jerat. pidananya dihilangkan karena pasal sudah tidak mengikat secara konstitusi. Alasan-Alasan permohonan uji materiil Prinsip kesamaan warga negara dalam hukum berdasar dalil Undang-Undang No. 8 Tahun 1981. Agar tercipta ruang hukum bersih, serta memiliki integritas tugas dan wewenang masing-masing. Menunjukan setiap orang mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan keadilan dan sistem peradilan. Proses hukum kumpulan aktivitas yang bisa mengurangi hak asasi manusia, dapat terlaksana bila aparat hukum melanggar HAM. Oleh karena itu, sangat dibutuh prosedur yang jelas dalam pelaksanaan hukum. Maka peradilan wajib sesuai prinsip HAM dan keadilan. Setiap proses penegakan hukum pidana, serta melindungi hak konstitusi seorang rakyat Indonesia, dilakukan dengan standar yang ditetapkan oleh hukum pidana. Hal ini bertujuan agar prosesnya berjalan formal mulai dari penyelidikan, penyidikan, hinggan proses peradilan. Individu ditetapkan dalam terdakwa negara dalam suatu perkara maka dia musuh negara, dan merujuk pada putusan 34/PUU-X/2014 tertanggal 6 Maret 2014 mahkamah konstitusi memiliki pertimbangan yang tertera pada pasal 1 ayat 3 UUD 1945 setiap orang memiliki HAM masing-masing. 

    Pengujian pasal 1 angka 2 KUHAP memberikan pemahaman tentang penyidikan sebagai serangkaian kegiatan dapat diatur dalam undang-undang berdasarkan barang bukti untuk menemukan titik terang, berkaitan dengan tindak pidana yang terjadi saat penetapan tersangka. Terdapat multitafsir mengingkari lex certa serta asas lex stricta sebagai asas konvensional dalam pembuatan undang-undang hukum pidana. Dalam Pasal 1 angka 14 juncto pasal 17 KUHAP tersangka yaitu, penangkapan seorang dilakukan oleh orang dituduh keras melakukan perbuatan pidana bersumber dari bukti awal yang digunakan oleh pihak berwenang dalam melaksanakan penyelidikan yang memadai. Kondisi tersebut dikarenakan parameter dari kalimat ‘bukti permulaan yang memadai’ yang tidak jelas maksudnya dan karena tidak jelasnya syarat yang harus ditaati maka menimbulkan ketidakpastian hukum. Mahkamah 

    Konstitusi dalam penegakan judicial restraint melakukan pengujian pasal 1 angka 2 KUHAP, mengartikan pemeriksaan tersangka sebagai serangkaian usaha penyidik menurut prosedur sudah dirancang oleh undang-undang ini bertujuan mengambil sampel; bukti tersebut secara faktual agar bisa dimanfaatkan fungsinya untuk menemukan titik terang mengenai perbuatan pidana yang terjadi, serta untuk menetapkan tersangkanya. Terdapat multitafsir pelanggaran atas asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas konvensional dalam pembuatan undang-undang pidana dan dilanjutkan dalam pasal 1 angka 14 juncto pasal 17 KUHAP definisi tertuduh yaitu, penangkapan individu melakukan tindakan kejahatan berdasarkan bukti awal yang digunakan oleh pihak berwenang terhadap individu memenuhi unsur pidana maupun bukti “permulaan yang cukup” dengan parameter yang tidak jelas karena tidak jelasnya dengan syarat yang harus ditaati. 

    Mengutip dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 mengenai bukti permulaan yang memadai minimal dua alat bukti yang dapat diterima sehingga menimbulkan kepastian hukum. Pasal 21 ayat 1 (1) KUHAP, menentang norma/aturan yang terkandung di pasal 28D ayat (1) UUD 1945, serta dapat memunculkan kesenjangan secara jelas bertolak belakang dengan prinsip due process of law. terdapat dua kalimat ketidakpastian hukum ‘berdasarkan bukti yang cukup’, dan kalimat ‘adanya kekhawatiran yang mengakibatkan kekhawatiran’ melihat dari pasal 28J ayat (2) UUD 1945 pengertian “berdasarkan bukti” menggambarkan bahwa dalam pengujian hukum MK menjalankan peran judicial restraint untuk menguji Undang-Undang agar sesuai dengan norma UUD 1945 harusnya dijelaskan dalam undang-undang. Dalam KUHAP, tidak diperkenankan dilakukan dengan peraturan-peraturan lainnya apalagi melalui penyidikan. Pasal 77 huruf a kuhap 156 ayat (2) KUHAP dan fokus kepada Interpretasi Hukum yang Konservatif MK dalam setiap keputusan nya selalu menititik beratkan kepada Undang-undang dasar 1945, dimana mereka memutuskan bahwa landasan UU bisa dipertanggung jawabkan kepada UUD 45. Terlihat dalam setiap pengujian keputusan MK selalu mencari dasar setiap kalimat yang bertentangan dalam perumusan undang-undang dan bila tidak memenuhi standar UUD 1945 maka pasal akan dianggap inkonstitusional pertimbangan terhadap Konsekuensi Politik. 

    Pentingnya Keadilan dan Kepastian Hukum petitum yang diterbitkan, adalah gabungan segala argumen disampaikan, serta sejumlah barang terdakwa disertakan dalam pengajuan termasuk keterangan professional/ahli, termasuk orang yang memiliki akses dalam pengadilan menjadi saksi, dengan ini permohonan diterima oleh mahkamah konstitusi untuk mengabulkan putusan. Mengabulkan permohonan semuanya, menyatakan kalimat “untuk menetapkan seorang individu menjadi tersangka” tercantum pasal 1 angka 2 KUHAP bertolak belakang terhadap UUD 1945 walaupun tidak bersyarat dan belum memiliki kekuatan hukum memaksa sepanjang jika belum bisa ditafsirkan “setelah mendapatkan banyak bukti penyidikan/penyelidikan tersebut untuk selanjutnya dapat diidentifikasi tersangkanya”. kalimat “bukti permulaan” dalam pasal 1 angka 14 KUHAP bertolak belakang dengan UUD 45 sepanjang tidak diartikan minimal dua alat bukti mengatakan kalimat melakukan tindak pidana pasal 77 huruf a KUHAP bertolak belakang dengan UUD 1945 secara bersyarat dan mempunyai sifat kekuatan hukum mengikat pasal 156 ayat (2) KUHAP bertolak belakang dengan UUD 1945 tidak memiliki kekuatan hukum mengikat pasal 156 ayat (2) KUHAP bertolak belakang dengan UUD 1945 maupun tidak mempunyai sifat hukum untuk memaksa. 

    Setelah putusan MK, kemungkinan perubahan yang terjadi adalah klarifikasi atau pemaparan lebih lanjut terkait dengan makna yang dimaksud oleh "bukti permulaan yang memadai" agar lebih jelas dan dapat diinterpretasikan secara konsisten oleh pihak yang terlibat dalam proses hukum. MK mungkin juga meminta agar syarat-syarat yang harus lengkap untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka diuraikan lebih rinci dalam undang-undang. Dalam konteks asas hukum "equality before the law" (kesetaraan di depan hukum), perubahan tersebut wajib memastikan setiap individu dapat memiliki kesempatan dan akses yang sama terhadap proses hukum dan bahwa keputusan yang diambil bersifat adil dan setara bagi semua pihak yang terlibat. Dengan demikian, perubahan yang dilakukan harus memperkuat prinsip ini, memastikan bahwa definisi tersangka dan syarat-syarat yang diperlukan untuk menetapkannya tidak diskriminatif atau merugikan bagi pihak-pihak tertentu. Hal ini akan membantu mengurangi ketidakpastian hukum dan menjaga keadilan dalam sistem hukum. Dalam hal ini penulis memiliki pendapat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 ini, MK peranan fungsinya lebih condong sebagai positive legislature yang artinya dapat membuat ketentuan norma maupun hukum baru. 

    Disisi lain menurut Hans Kelsen pencetus ide MK mengatakan bahwa secara normatif MK merupakan negative legislature yang tugasnya hanya menentukan apakah aturan perundang-undangan bertentangan atau tidak terhadap UUD 1945. Institusi yang seharusnya menjadi positive legislature yaitu DPR dan Presiden. Oleh karena itu hasil dari putusan MK ini seharusnya dimuat dalam undang-undang bukan dalam putusan MK. Walaupun MK merupakan negative legislature ini tidak berlaku absolute dalam berbagai situasi dan kondisi, yang berarti MK dapat menjadi positive legislature tetapi ini dilakukan karena adanya kondisi darurat. Kondisi yang dikatakan darurat misalnya pada saat tidak dimungkinkannya DPR dan Presiden memuat norma baru dalam jangan waktu yang sudah dekat, tetapi terjadi kekosongan hukum yang mendesak maka dalam hal ini MK dapat memerankan fungsinya selaku positive legislature. 

    Dalam permohonan keputusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 ini, tepatnya terlampir pada serratus empat lembar berkas mengatakan “terkait saat KUHAP berlaku tahun 1981 memutuskan tersangka tidak menjadi persoalan yang fundamental dan mendesak dalam kehidupan warga negara Indonesia. Selanjutnya, usaha paksa pada era itu secara umum didefinisikan terbatas kepada penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan. Akan tetapi, dalam topik saat ini, “praktik penentuan status tersangka oleh penyidik telah mengalami perkembangan dan perubahan begitu signifikan. Contoh salah satunya, adalah praktik dimana negara bersikap dengan memberikan label tersangka tanpa batasan waktu yang jelas. Mengakibatkan seseorang dipaksa menerima status tersangka tanpa harus dapat membuktikan dengan proses hukum yang tepat”.15 Kalimat “belum menjadi persoalan yang fundamental dan mendesak” ini menunjukan bahwa kondisi yang tidak mendesak yang dimana seharusnya MK mengedepankan prinsip Judicial restraint dibandingkan dengan prinsip Judicial activism. Dalam putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 jelas bahwasannya MK menambahkan beberapa kata yang menjadi 15 Mahkamah Konstitusi. norma baru. Aturan atau norma baru yang ditambah dari MK, yaitu di dalam Pasal 77 UU 8 Tahun 1981 yaitu “penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan”. Sebaliknya dalam UU Nomor 24 Tahun 2003 mengatakan bahwa MK hanya dapat menentukan 3 macam putusan berhubungan dengan pengujian Undang-Undang, yaitu dikabulkan, di tolak, atau tidak diterima. 

Kesimpulan 

    Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan fungsinya harus memegang beberapa prinsip, diantara prinsip-prinsip pentingnya yaitu prinsip Judicial restraint dan prinsip Judicial activism. Judicial restraint adalah bentuk pengekangan diri dari kecenderungan untuk bertindak sebagai pembentuk norma atau hukum baru yang seharusnya merupakan tugas dan wewenang lembaga legislatif. Sedangkan kebalikannya yaitu Judicial activism merupakan prinsip dimana hakim dituntut untuk lebih aktif dalam pembuatan hukum atau norma baru demi menghindari kekosongan hukum. Menurut pendapat penulis dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 terindikasi adanya kekeliruan dalam pembuatan keputusan yang seharusnya mengedepankan prinsip Judicial restraint akan tetapi dalam putusan ini hakim lebih mengedepankan penggunaan prinsip Judicial activism. Karena sudah jelas pula tertera di halaman 104 putusan tersebut bahwasannya permohonan dari pemohon bukan menjadi suatu permasalahan yang mendesak yang mengharuskan adanya penambahan norma baru yang mendesak dalam KUHAP, maka disini Mahkamah Konstitusi seharusnya tidak memiliki wewenang untuk menambahkan norma baru di dalamnya, seharusnya Mahkamah Konstitusi menegakan prinsip Judicial restraint. Seharusnya lembaga legislatif yang lebih cekatan dan segera membuat Undang-Undang baru mengenai permasalahan adanya kekosongan hukum. 

Saran 

    Menurut penulis pemisahan kekuasaan yang berdampak kepada aturan prinsip negara dimana hanya menurut Hans Kelsen pencetus ide mengenai Mahkamah Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi adalah “negative legislature”, yang artinya Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang dapat membatalkan Undang-Undang. Sepatutnya, lembaga yang berperankan sebagai positive legislature yaitu, DPR dan Presiden, bukan Mahkamah Konstitusi. Karena itu, suatu penetapan tersangka sebagai objek praperadilan atau bukan sebaiknya dimuat di dalam Undang-Undang, tidak di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014. Seharusnya Mahkamah Konstitusi tetap pada jalurnya hanya menguji konstitusional suatu aturan saja tidak untuk menambahkan norma baru. Sehingga pendapat penulis prinsip judicial activism seharusnya dihindari atau bahkan dihilangkan dalam pengambilan keputusan hakim Mahkamah Konstitusi khususnya Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUUXII/2014. Sebagai gantinya, mungkin dapat ditambahkan wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memiliki kewenangan dalam pemberian saran atau rekomendasi pembuatan norma hukum baru kepada lembaga legislatif, agar nantinya dapat di pertimbangkan kembali oleh badan legislatif

Sumber

Annus, T. (2007). “Courts as political institutions”. Juridica Int’l, 13, 30. 

Dramanda, W. (2014). “Menggagas penerapan judicial restraint di Mahkamah Konstitusi”.

 Jurnal Konstitusi, 11*(4), 617–631. Falaakh, M. F. (2001). “Skema constitutional review di Indonesia: Tinjauan kritis”. Jurnal Mimbar Hukum, 38(1), 14-28. Hasanah, G. N., & Kharisma, D. B. (2022). “Eksistensi judicial activism dalam praktik konstitusi oleh Mahkamah Konstitusi”. Sovereignty, 1(4), 734–744. 

Mahfud, M. (2007). “Perdebatan hukum tata negara pasca amandemen konstitusi”. Lp3es. (p. 100). 

Mahkamah Konstitusi. (2014). “Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014”. 

Moh, M. D. (2009).” Konstitusi dan hukum dalam kontroversi isu”. Jakarta: Rajawali Pers. (hal. 280) Mahkamah Konstitusi. (2014). 

“Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-XII/2014”. Moh, M. D. (2009). Konstitusi dan hukum dalam kontroversi isu. Jakarta: Rajawali Pers. (hal. 280). 

Pemerintah Pusat. (2002). “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2002 tentang Mahkamah Konstitusi”. 

Pemerintah Pusat. (2003). “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi”. 

Pemerintah Pusat. (2009). “Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman”. Rasyid, A. (2004). “Wewenang Mahkamah Konstitusi dan implikasinya dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia”. (UNIVERSITAS AIRLANGGA, p. 167). 

Siallagan, H. (2010). “Masalah putusan ultra petita dalam pengujian undang-undang”. Mimbar Hukum-Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 22(1), 71–83


Posting Komentar untuk "URGENSI PENEGAKAN PRINSIP JUDICIAL RESTRAINT DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014"