Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kontekstualisasi Ta’zir Dalam Sistem Peradilan Modern

 

                                                                (Foto : ANTARA News)


Penulis : Ahmad Murtadzo


Sistem hukum Islam memiliki keunikan dalam pengaturan pidananya, salah satunya adalah konsep Ta’zir. Ta’zir adalah hukuman yang diserahkan kepada keputusan seorang penguasa untuk menjatuhi hukuman terhadap pelaku tindak jarimah. Berbeda halnya dengan jarimah hudud dan qisas yang hukumnya sudah jelas ditentukan didalam Al-Qur’an dan Hadist. Hal ini menjadikan Ta’zir sebagai salah satu instrumen hukum yang dinamis dan relevan untuk diterapkan di berbagai konteks sosial. 1 Dasar hukum Ta’zir, Hadīs riwayat al-Bukhārī dan Muslim:2 نم دح يف لاإ تادلج رشع قوف دلجي لا :لوقي ملسو هيلع الله ىلص يبنلا ناك : :لاق هنع الله يضر ةدرب يبأ نع الله دودح ١٣ 

Dari Abi Burdah ra. berkata: bahwasannya Nabi Saw. ber- sabda: "Tidak boleh dijilid di atas 10 (sepuluh) jilidan, ke- cuali di dalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah". 

Kandungan fikih yang ada dalam hadis ini adalah perbedaan antara hukuman ta’zir dan hudud. Hadist ini menunjukkan bahwa hukuman di luar kategori hudud (ta’zir) tidak boleh berlebihan, seperti halnya memberikan hukuman fisik lebih dari 10 cambukan. Didalam hadis ini juga diataur batasan-batasan mengenai hukuman pada ta’zir. Dalam ta'zir, hukuman fisik (seperti cambukan) harus proporsional, tidak berlebihan, dan memperhatikan tujuan pembinaan, bukan penghukuman semata. Larangan memberikan hukuman lebih dari 10 cambukan dalam konteks ini bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dan memastikan hukuman tetap manusiawi. Di sisi lain, sistem peradilan modern cenderung mengedepankan prinsip legalitas, transparansi, dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam konteks pluralisme hukum, terdapat tantangan dalam mengakomodasi nilai-nilai syariah, termasuk ta'zir, dalam sistem peradilan modern. Namun, fleksibilitas yang menjadi ciri khas ta'zir justru menawarkan peluang untuk diselaraskan dengan pendekatan hukum kontemporer, seperti keadilan restoratif dan rehabilitatif. 

 Urgensi pembahasan mengenai ta'zir dalam sistem peradilan modern yang bersifat plural terletak pada perlunya menciptakan harmoni antara prinsip keadilan Islam dengan nilai-nilai hukum kontemporer. Sistem peradilan modern sering kali dihadapkan pada tantangan untuk mengakomodasi keberagaman norma hukum yang hidup dalam masyarakat, termasuk norma norma syariah. Dalam konteks ini, ta'zir, dengan sifatnya yang fleksibel dan tidak terikat pada hukuman tertentu, dapat menjadi jembatan untuk menyelaraskan hukum Islam dengan prinsip prinsip modern seperti keadilan restoratif, kemanusiaan, dan hak asasi manusia. Di tengah kebutuhan akan hukum yang responsif terhadap perkembangan sosial dan budaya, membahas ta'zir menjadi relevan sebagai salah satu alternatif yang mampu menjawab persoalan hukum tanpa mengesampingkan nilai-nilai universal. Hal ini penting terutama bagi negara-negara dengan masyarakat plural yang mengintegrasikan berbagai sistem hukum, termasuk hukum Islam, ke dalam sistem peradilannya. 

 Esai ini bertujuan untuk menganalisis relevansi dan potensi penerapan ta'zir dalam sistem peradilan modern. Dengan mengeksplorasi karakteristik dasar ta'zir dan konteks hukum saat ini, diharapkan dapat ditemukan jalan tengah yang tidak hanya mencerminkan keadilan Islam tetapi juga memenuhi tuntutan hukum modern yang inklusif dan universal.

Bagaimana relevansi dalam system hukum modern? 

Ta'zir memiliki relevansi signifikan dalam sistem hukum modern, terutama karena sifatnya yang fleksibel dan dapat disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat kontemporer. Dalam hukum Islam, ta'zir mengacu pada hukuman yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh Al-Qur'an atau Hadis, memberikan otoritas kepada penguasa atau hakim untuk menetapkan jenis hukuman berdasarkan prinsip keadilan, kemaslahatan umum, dan norma sosial. Hal ini menciptakan ruang untuk mengadaptasi konsep ini ke dalam sistem hukum modern yang plural dan dinamis. 

Relevansi ta'zir dalam konteks hukum modern terlihat dari kemampuannya untuk menangani berbagai pelanggaran yang tidak terakomodasi oleh hukum pidana konvensional. Contohnya, ta'zir dapat diterapkan dalam kasus-kasus yang menyentuh isu lingkungan, pelanggaran administrasi, atau tindak pidana ringan lainnya, dengan fokus pada tujuan preventif dan rehabilitatif, bukan hanya represif. Dengan pendekatan ini, sistem hukum modern dapat mengadopsi prinsip-prinsip ta'zir untuk mencapai keseimbangan antara keadilan individu dan kepentingan masyarakat. 

Selain itu, ta'zir juga relevan dalam memberikan wewenang kepada otoritas untuk menetapkan sanksi berdasarkan kondisi lokal dan budaya, yang dapat memperkuat otonomi hukum di tingkat regional. Ini sejalan dengan prinsip-prinsip desentralisasi dalam banyak negara modern, termasuk Indonesia, di mana hukum Islam dapat diberlakukan secara khusus di wilayah tertentu seperti Aceh, sesuai dengan aturan yang ada. Dengan demikian, penerapan prinsip ta'zir dalam hukum modern tidak hanya menawarkan fleksibilitas dalam pengaturan hukum, tetapi juga mencerminkan kompatibilitas nilai-nilai Islam dengan kebutuhan hukum kontemporer. Prinsip ini berpotensi memperkaya sistem hukum modern dengan pendekatan yang lebih humanis dan kontekstual. 

Bagaimana Peran Hakim dalam Penjatuhan Hukuman? 

Dalam konteks penjatuhan hukuman ta'zir, peran hakim sangat penting karena sistem ini memberikan keleluasaan kepada hakim untuk menetapkan jenis dan tingkat hukuman sesuai dengan kemaslahatan masyarakat serta berat-ringannya pelanggaran. Hakim bertindak sebagai penentu keadilan dengan memperhatikan aspek mendidik, melindungi, dan memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Prinsip-prinsip dalam ta'zir menekankan keadilan yang kontekstual, yaitu fleksibilitas hukum Islam untuk beradaptasi dengan kebutuhan zaman dan masyarakat. Hakim memiliki beberapa peran utama dalam penjatuhan hukuman ta'zir: 

1. Menentukan Jenis Hukuman: Ta'zir tidak memiliki batasan khusus terkait jenis hukuman. Hakim dapat menjatuhkan hukuman mulai dari peringatan, denda, penjara, hingga hukuman yang lebih berat sesuai tingkat kejahatan dan kerusakannya terhadap masyarakat. Sebagai contoh, hukuman seperti cambuk atau pengucilan dapat diterapkan untuk memberikan pelajaran sekaligus perlindungan kepada komunitas. 

 2. Memperhatikan Kemaslahatan Umum: Hukuman ta'zir bersifat dinamis dan bertujuan melindungi lima aspek pokok dalam hukum Islam, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Oleh sebab itu, hakim memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan hukuman yang dijatuhkan relevan dengan kemaslahatan masyarakat tanpa melanggar prinsip syariat. 

 3. Memberikan Keputusan yang Proporsional: Hakim mempertimbangkan faktor seperti niat pelaku, dampak kejahatan, dan kondisi sosial ketika menentukan hukuman. Misalnya, kejahatan yang mengancam keamanan publik, seperti penipuan atau pelanggaran moral, dapat dikenai hukuman lebih berat untuk menjaga stabilitas sosial 

Dalam sistem hukum modern, peran fleksibel hakim dalam ta'zir relevan untuk mengatasi kejahatan yang berkembang seiring perubahan zaman. Sistem ini juga dapat menjadi solusi bagi pluralitas masyarakat modern yang membutuhkan pendekatan hukum yang adaptif dan berorientasi pada keadilan substantif.

Bagaimana Ta'zir dalam Perspektif Hak Asasi Manusia? 

Analisis konsep ta'zir dalam perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) menunjukkan adanya tantangan dan peluang untuk menyelaraskan prinsip syariat Islam dengan norma HAM internasional. Ta'zir, yang memberikan keleluasaan kepada hakim atau penguasa untuk menentukan hukuman berdasarkan kemaslahatan masyarakat, sebenarnya memiliki fleksibilitas yang memungkinkan penyesuaian dengan konteks modern. Namun, penerapannya dapat berbenturan dengan prinsip-prinsip HAM, terutama terkait dengan perlakuan manusiawi terhadap terdakwa. 

Dalam sistem hukum pidana Islam, ta'zir mencakup hukuman yang sifatnya edukatif, preventif, dan represif. Jenis hukuman ini dapat dirancang agar tetap menghormati hak-hak dasar individu, seperti menghindari hukuman yang dianggap kejam atau merendahkan martabat manusia. Sebagai contoh, dalam pelaksanaannya, hukuman ta'zir dapat diadaptasi menjadi bentuk sanksi sosial, denda, atau rehabilitasi yang lebih sesuai dengan norma HAM kontemporer. 

Namun, tantangan muncul dalam konteks pluralisme hukum, seperti di Indonesia, di mana norma HAM internasional seperti yang tertuang dalam ICCPR dan CAT telah diratifikasi. Norma ini menekankan perlindungan terhadap hak untuk hidup, larangan penyiksaan, dan perlakuan yang tidak manusiawi. Dalam konteks ini, pendekatan inklusif yang mengakui universalitas HAM dan sensitivitas budaya lokal diperlukan untuk menjembatani hukum pidana Islam dan norma internasional. Dengan demikian, analisis ta'zir dalam perspektif HAM membuka ruang diskusi tentang bagaimana prinsip keadilan Islam dapat diterapkan tanpa melanggar standar internasional. Upaya ini membutuhkan kerangka hukum yang menghormati keyakinan agama sekaligus memastikan perlindungan hak asasi manusia.

Kesimpulan

 Konsep ta'zir dalam hukum Islam memiliki relevansi yang signifikan dalam sistem peradilan modern. Sifatnya yang fleksibel memungkinkan penerapannya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat kontemporer, sehingga menjadi salah satu instrumen hukum yang dapat menjembatani hukum Islam dengan prinsip-prinsip hukum modern seperti keadilan restoratif, perlindungan hak asasi manusia (HAM), dan penghormatan terhadap keberagaman norma hukum. 

Dalam sistem peradilan modern, ta'zir menawarkan pendekatan hukum yang lebih humanis dan kontekstual. Hakim diberikan peran penting dalam memastikan hukuman yang dijatuhkan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga edukatif dan preventif, sehingga lebih sesuai dengan nilai nilai HAM. Penekanannya pada kemaslahatan umum dan perlindungan masyarakat menunjukkan kompatibilitasnya dengan prinsip-prinsip hukum modern yang responsif terhadap perubahan sosial. 

Namun, penerapan ta'zir juga menghadapi tantangan dalam menyelaraskan norma syariah dengan standar HAM internasional. Untuk itu, dibutuhkan pendekatan inklusif yang menghormati nilai-nilai universal HAM sekaligus mempertahankan identitas hukum Islam. Hal ini penting terutama dalam masyarakat plural seperti Indonesia, di mana pluralisme hukum mengharuskan adanya integrasi yang harmonis antara norma agama dan hukum positif. Secara keseluruhan, ta'zir merupakan contoh bagaimana hukum Islam dapat berkontribusi dalam membangun sistem hukum modern yang adil, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat global tanpa mengesampingkan nilai-nilai religius.



Posting Komentar untuk "Kontekstualisasi Ta’zir Dalam Sistem Peradilan Modern "