Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

PARADOKS KEMERDEKAAN SPESIAL 80 TAHUN INDONESIA




(Gambar Ilustrasi: Satria Kusuma Wardhana)

Kemerdekaan sejatinya menjadi milik rakyat, bukan milik segelintir elit yang memonopoli kekuasaan dan kekayaan bangsa. Delapan puluh tahun lalu, proklamasi dikumandangkan atas nama rakyat Indonesia, bukan atas nama kelompok tertentu. Namun, melihat realitas sulit bagi kita melihat bahwa kemerdekaan itu benar-benar dirasakan rakyat, yang terlihat kemerdekaan hanya menjadi milik mereka yang berada di kalangan elit. Kemerdekaan bukan hanya persoalan upcara simbolik yang dilakukan tiap 17 Agustus, namun ini bicara mengenai subtansi dari nilai kemerdekaan itu sendiri.

Hari ini kita menyaksikan paradoks kepemimpinan di negeri yang katanya merdeka. Pemimpin seharusnya hadir sebagai teladan moral, pengayom rakyat, dan menghadirkankesejahteraan bagi rakyatnya. Namun kenyataan justru menunjukkan hal sebaliknya, banyak pemimpin arogan yang muncul karena nafsu pribadinya, dan lupa pada janji yang mereka ucapkan di hadapan rakyat. Alih-alih menunaikan amanat, mereka sibuk melanggengkan kekuasaan. Saat kampaye mereka berkata-kata manis dan mengemis, tetapi setelah terpilih kebijakan sering kali jauh dari kesejahteraan rakyat dan dekat dengan kepentingan elitDemokrasi yang menjadi tonggak dari kedaulatan rakyat sering kali dipersempit oleh kepentingan segelintir elit. Pemilu yang seharusnya menjadi sarana memilih pemimpin berintegritas, terlalu sering berubah menjadi ajang jual beli suara. 

Mari kita beralih melihat paradoks hukum Indonesia.Hukum kini telah menjadi alat kekuasan yang melidungi kepentingan elit dan rela mengorbankan keadilan dan kebenarankita masih kerap kali menemukan pemandangan hukum yang tidak adil dan terkesan tebang pilih, bergantung pada relasi kekuasaan yang dimiliki. Hukum masih sering berjalan pincang tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat kecil seringkali dihadapkan dengan perlakukan yang tidak adil dihadapkan hukum, sementara para koruptor yang merampas uang rakyat justru kerap mendapat perlakuan special.

Pendidikan pun turut menghadirkan paradoks tersendiri. Pendidikan harusnya menjadi hak semua warga negara dan negara haruslah mampu menghadirkannya, setidaknya itu yang dikatakan pasal 31 UUD 1945. Saat ini pendidikan hanyalah ladang komersial, biaya yang kian mahal dan terkesan menjadi barang dagangan yang hanya dapat dirasakan oleh segelitir orang. Generasi muda yang bercita-cita menimba ilmu harus berhadapan dengan biaya yang melampaui kemampuan banyak keluarga. Padahal, pendidikan adalah jantung kemerdekaan, karena hanya dengan ilmu pengetahuan bangsa ini bisa benar-benar berdaulat.

Dengan kita sadar pada paradoks yang terjadi, ini sebagai bentuk refleksi kita bahwa kemerdekaan bukanlah titik akhir, melainkan proses panjang yang harus terus diperjuangkan. Kemerdekaan tidak hanya soal simbol, bendera, dan upacara, tetapi bagaimana setiap warga bangsa bisa hidup dalam keadilan, kesejahteraan, dan kesempatan yang setara.

                            Oleh: Satria Kusuma Wardhana

Posting Komentar untuk "PARADOKS KEMERDEKAAN SPESIAL 80 TAHUN INDONESIA"